Tuesday, April 6, 2010

Kejagung Siapkan Tim Pemburu Ciduk Marimutu Sinivasan

Senin, 18/01/2010 18:37 WIB
Kejagung Siapkan Tim Pemburu Ciduk Marimutu Sinivasan
Ari Saputra - detikNews

(Foto: dok detikcom)
Jakarta - Kejaksaan Agung (Kejagung) bersama tim pemburu koruptor bersiap ke luar negeri. Targetnya para obligor nakal pengemplang dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

"Sebenarnya Desember rencana ke luar negeri. Tetapi berbarengan dengan tim Century yang mendata aset," kata Wakil Jaksa Agung Darmono kepada wartawan di kantornya, Jl Sultan Hasanuddin, Jakarta Selatan, Senin (18/1/2010).

Marimutu merupakan penikmat dana BLBI lewat Bank Putera Multikarsa. Selain Marimutu, tim juga mengincar Agus Anwar (Bank Pelita), Lidya Mochtar (Bank Tamara) dan Atang Latief (Bank Bira).

"Kita sudah menjadwalkan langkah-langkah memburu obligor salah satunya pengecekan aset," imbuhnya.

Darmono berkelit bila tim yang terdiri dari Kejagung, Deplu, Depkum HAM, BIN dan BAIS jalan di tempat. Menurutnya, waktu yang dibutuhkan dipergunakan untuk berkoordinasi dengan Interpol.

"Semua langkah akan kami tempuh," tegas Darmono.
(Ari/nwk)

Depkeu Kesulitan Kejar Marimutu Sinivasan & Agus Anwar

Perginya dua obligor bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Marimutu Sinivasan dan Agus Anwar ke luar negeri, membuat pemerintah sulit untuk menyita aset dua obligor itu.
Padahal, nilai aset yang diserahkan kedua obligor itu tidak sebanding dengan tagihannya. Tagihan terhadap Marimutu, mencapai Rp790,557 miliar, dan tagihan kepada Agus Anwar mencapai Rp577,612 miliar.
“Kalau nilai asetnya masih kurang, Departemen Keuangan akan meminta para obligor untuk menyerahkan lagi,” ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, usai rapat koordinasi BLBI, di Kantor Menko Perekonomian, Jalan Lapangan Banteng, Jakarta, Jumat (8/2/2008).
Menurut Sri Mulyani, kedua obligor itu lebih susah dibanding dengan obligor lain. “Untuk obligor seperti Oemar Putihrai asetnya relatively sudah di tempat. Yang agak berat adalah Agus Anwar dan Sinivasan. Karena lack-nya sangat besar,” imbuh Sri Mulyani.
Oleh sebab itu, pemerintah akan melihat kembali jumlah aset yang telah diserahkan. Selanjutnya akan dilakukan penyitaan dan pelelangan terhadap aset para obligor tersebut.
Departemen Keuangan, kata Sri Mulyani, juga akan menyerahkan perkara ini ke Kejaksaan Agung. Dengan catatan, ketujuh obligor belum menyerahkan aset hingga batas waktu.
“Selama ini Departemen Keuangan menggunakan jalur perdata. Kalau mereka belum bisa melunasi, Departemen Keuangan akan menyerahkan kepada Kejagung untuk menuntut mereka atas kekurangan itu,” ujarnya.
Di tempat sama, Direktur Jenderal Kekayaan Negara Hadiyanto menegaskan, pemerintah menilai sulit mengejar dua obligor itu karena keduanya telah berada di luar negeri, sementara aset yang diserahkan terlalu kecil. “Bagaimana mengejar orang di luar negeri untuk membayar yang di dalam negeri, kan susah,” ungkapnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, tujuh pengemplang dana BLBI senilai Rp2,297 triliun itu terdiri dari James dan Adiputra (Bank Namura Internusa) sebesar Rp303 juta, Atang Latief (Bank Indonesia Raya) Rp155,72 miliar, Ulung Bursa (Bank Lautan Berlian) Rp424,65 miliar, Omar Putihrai (Bank Tamara) Rp159,1 miliar, Marimutu Sinivasan (Bank Putra Multikarsa) Rp790,557 miliar, Agus Anwar (Bank Pelita dan� Bank Istimarat) Rp577,813 miliar, dan Lidya Muchtar (Bank Tamara) Rp189,039 miliar.

Buronan Marimutu Sinivasan Menyerahkan Diri

Jum'at, 9 Mei 2008 - 10:23 wib
text TEXT SIZE :
Share
Sutarmi - Okezone

JAKARTA - Bos Texmaco Marimutu Sinivasan akhirnya menyerahkan diri ke Mabes Polri semalam, Kamis 8 Mei. Marimutu telah buron selama dua tahun.

Dalam pesan singkatnya, Kabid Penum Kombes Pol Bambang Kuncoko mengatakan, Marimutu menyerahkan diri pada Direktur Ekonomi Khusus Bareskrim Mabes Polri Brigjen Pol Wenny Warrouw pada pukul 19.00 WIB.

"Untuk selanjutnya kami serahkan ke Kejati DKI," ujar Bambang, Jumat (9/5/2008).

Wenny meneruskan tersangka ke Kajati DKI pada 30 menit setelah penyerahannya ke Bareskrim Mabes Polri. Selanjutnya tersangka yang telah buron dari 6 Juni 2006, saat ini ditangani oleh Kasie Penuntut Pidana Umum Kejati DKI Indianto. (mbs)(hri)

Marimutu Sinivasan Melarikan Diri Sebelum Dicekal

Tags: marimutu


indosiar.com, Jakarta - Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaludin menegaskan, kaburnya obligor BLBI Marimuti Sinivasan ke luar negeri terjadi saat yang bersangkutan belum berstatus dicekal. Bareskrim Mabes Polri baru mengajukan permintaan cekal pada tanggal 17 Maret 2006, dua hari setelah Marimutu melarikan diri.

Penegasan ini dilontarkan saat menjawab pertanyaan Anggota Komisi III DPR RI dalam rapat kerja Senin (12/06/06) pagi. Hamid menambahkan, status Marimutu Sinivasan sebenarnya pernah dicekal pada tahun 1999 sampai 21 Mei 2005. Namun cekal tersebut tidak diperpanjang.

Akibatnya pada tanggal 15 Maret 2006, Marimutu dapat dengan leluasa pergi keluar negeri dengan tujuan Singapura dengan menumpang pesawat Singapura Airlines. Hamid mengakui, Bareskrim Mabes Polri ketika itu mengajukan permintaan cekal baru pada tanggal 17 Maret 2006, dua hari setelah Marimutu melarikan diri. (Medi Trianto dan Medi Kuswedi/Sup)

Marimutu Sinivasan

Nama :
Marimutu Sinivasan
Lahir :
Medan 17 Desember 1937
Pendidikan :
- SD-SMA, Medan
- Universitas Islam Sumatra Utara (UISU), tidak tamat
Jabatan :
Presiden Direktur Group Texmaco
Anak :
Rani, Dewi, Mega, Marina, Mirna, dan Gandhi Ben.
Alamat :
Jalan Pasuruan 4 Menteng, Jakarta Pusat

Kita Bukan Bangsa Tempe


Jika Jepang dan Korsel mampu mandiri dalam bidang industri barang modal dan otomotif, Indonesia juga bisa. Indonesia tak perlu inferior. “Bung Karno bilang, kita bukan bangsa tempe, dan saya ingin mewujudkan kebenaran pandangan itu,“ ujar ayah enam anak yang merintis usaha dari nol sejak 39 tahun silam.


Marimutu Sinivasan lahir di Medan, Sumatra Utara, 17 Desember 1937. Di kota itulah pria keturunan Tamil India ini menempuh pendidikan dasar hingga universitas. Tetapi, ia tidak lama duduk di bangku kuliah Universitas Islam Sumatra Utara, karena keburu bekerja di sebuah perusahaan perkebunan. Tidak lama di sana, kemudian ia terjun ke dunia bisnis. "Saya merasa tidak cocok jadi pegawai," katanya.

Kakek enam cucu ini mulai berbisnis tekstil pada 1958. Dua tahun kemudian ia pindah ke Jakarta. Pada 1962 ia membuka pabrik pembuatan polekat--bahan sarung--yang pertama di Jakarta. Kemudian pada 1967 ia bisa mendirikan perusahaan batik dan selanjutnya membuka pabrik penyelupan. Pada 1972, Sinivasan membeli pabrik batik di Batu, Jawa Timur.

Pada 1977 ia membangun pabrik poliester di Semarang, selanjutnya pada 1985-1986 ia membangun pabrik polimer lagi. Setahun berikutnya, ia membangun pabrik garmen di Ungaran-- sekarang dikelola adiknya, Marimutu Manimaren. Kawasan pabrik Texmaco seluas 1.000 hektare di Subang, Jawa Barat, lengkap dengan sekolah politeknik mesin, diresmikan oleh menteri perindustrian waktu itu, Ir. Hartarto.

Di Serang pulalah pabrik alat berat dan mesin Texmaco dipusatkan. Salah satu produknya, truk Perkasa, dipesan 800 unit oleh TNI. Di Karawang, sebelah timur Jakarta, Texmaco juga membangun kompleks pabrik tekstil seluas 250-an hektare. Produk tekstilnya, merek Simfoni dan Texana, dikenal luas, selain untuk kebutuhan dalam negeri juga banyak dipesan beberapa perusahaan terkenal, seperti Mark & Spencer dari Inggris atau Tomy Helfinger dari Amerika Serikat.

Sinivasan memang termasuk salah seorang pengusaha nasional yang sangat sukses. Penggemar membaca ini masih menempati rumah kontrakan di Jalan Pasuruan 4 Menteng, Jakarta Pusat. Rumah bertingkat dua itu ditinggalinya bersama istrinya. Sementara itu, rumahnya sendiri di Jalan Tulungagung, tak jauh dari rumah kontrakannya, tidak ditempati. Tidak jelas apa alasannya.

Di garasi rumah yang lumayan besar itu, terparkir tiga Mercedez Benz tipe 300 E dan satu BWM seri 740 iL. Sinivasan lebih suka mengendarai Volvo 960 hitam nomor B1142NO ketimbang empat mobil lainnya itu.

Ada kebiasaan menarik dari keseharian Sinivasan: ia harus tidur minimal enam jam sehari. "Kalau kurang tidur, konsentrasi saya menurun," katanya. Rupanya, kebiasaan itu sudah "bawaan" sejak remaja. Bahkan, dulu lebih dahsyat lagi. Lelaki yang kini memimpin 30-an perusahaan ini biasa tidur sampai delapan jam sehari. Toh, ia tidak pernah kekurangan waktu untuk menyelesaikan pekerjaannya. "Kuncinya adalah memanfaatkan jam kerja sebaik mungkin," katanya. Pukul 7.30, ia sudah asyik di ruang kerja dan baru pulang setelah larut malam.



***
Berbagai predikat negatif sudah diberikan kepadanya. Sebut saja pengusaha hitam, pengusaha edan, tukang suap, kriminal, pendiri pabrik rongsokan, dan sebagainya. Tapi, Marimutu Sinivasan, CEO Texmaco Group tampak tetap tegar.
Dia tidak terlalu ambil pusing atas berbagai penilaian itu. Karena dia merasa apa dibuat adalah untuk kepentingan bangsa dan negara. Sinivasan berobsesi membangun industri engineering demi kemajuan bangsa dan negara. Pengusaha yang tak sempat main golf dan tenis ini yakin, suatu saat, bisnis engineering yang dibangunnya akan menjadi andalan.
Industri engineering, khususnya otomotif di tanah iir adalah killing field. Manakala Indonesia ingin membangun industri otomotif nasional selalu dibantai. Seperti halnya sedan Timor yang sempat menurunkan harga mobil, tapi dibantai kiri-kanan. Meski ladang pembantaian, Sinivasan tak surut. Jika Jepang dan Korsel mampu mandiri dalam bidang industri barang modal dan otomotif, Indonesia juga bisa. Indonesia tak perlu inferior. “Bung Karno bilang, kita bukan bangsa tempe, dan saya ingin mewujudkan kebenaran pandangan itu,“ ujar ayah enam anak yang merintis usaha dari nol sejak 39 tahun silam.
Tanpa tedeng aling-aling, pengusaha yang tetap tampak energik itu menanggapi berbagai penilaian buruk kepadanya.

Perihal utang Texmaco.
Utang Texmaco yang berjumlah Rp 16,5 triliun itu, awalnya sekitar Rp 7 triliun. Karena pinjaman diperoleh dalam dolar pada kurs Rp 2.400 per dolar AS. Waktu itu, bunga pinjaman dolar sekitar 11 persen, sedang rupiah sekitar 22 persen.
Ketika terjadi krisis ekonomi, sebagian pinjaman dolar ditukar pada kurs Rp 10.000 dan Rp 12.000 oleh bank kreditor. Dengan melemahnya nilai rupiah, maka utang Texmaco membengkak menjadi Rp 16,5 triliun.
Kredit itu berjangka waktu 7-8 tahun. Tapi, konsultan, yang ditunjuk oleh BPPN, menilai bahwa kredit ini dapat dibayar kembali dalam waktu 11 tahun. Acuan restruksturisasi adalah cash flow perusahaan. Semua aset Texmaco sudah diserahkan ke BPPN.
Marimutu merasa heran kenapa ada yang mengaku pengamat ekonomi terlalu memandang negatif terhadap Texmaco. Namun dia mengagumi ekonom senior seperti Sumitro Djojohadikusum, Mohammad Sadli, Frans Seda, dan Emil Salim. Karena komentar mereka tentang suatu masalah ekonomi bersih dari unsur kepentingan.

Kedekatan dengan Pak Harto dan BJ Habibie. Bahkan bisa merebut simpati Gus Dur dan Megawati.
Marimutu tidak merasa ada perlakuan khusus dari para pemimpin itu. “Kalau saya diberi hak monopoli, kemudahan mendapat dana, pembebasan dari proses hukum, dan sebagainya, itu baru namanya perlakuan khusus,” katanya.
Tapi, silakan teliti,mana ada bisnis tekstil yang monopoli? Begitu memasuki bisnis engineering, apakah Texmaco meminta hak monopoli? “Kami memasuki bisnis dengan kesadaran penuh untuk menghadapi persaingan dan pasar bebas,” ujarnya.
Mengenai kedekatan dengan Soeharto? Apakah Texmaco mendapat hak monopoli selama 32 tahun seperti sejumlah perusahaan milik konglomerat tertentu?
“Saya mendapatkan kredit lewat prosedur biasa. Tidak ada unsur KKN dalam proses mendapatkan kredit. Toh, selain dari Bank domestik, Texmaco mendapat pinjaman sekitar 1,3 miliar dollar AS dari lembaga keuangan asing. Pinjaman dari lembaga keuangan asing itu tak bisa diperoleh dengan KKN, tapi berdasarkan pertimbangan bisnis murni,” tegasnya.
Sebelum krisis, 1997, Texmaco sudah menjadi nasabah BNI selama lebih dari 30 tahun. Selama kurun waktu itu, tidak pernah terjadi default pembayran bunga maupun angsuran. Bahkan Texmaco membayar kembali 500 juta dollar AS kreditnya kepada BNI dan BRI. Setelah pengembalian uang tersebut, Texmaco memasuki bidang engineering dengan mengajukan 1 miliar dolar AS kredit untuk engineering dari BNI, BRI dan beberapa bank lainnya dalam suatu konsorsium. Permohonan itu disetujui karena track-record Texmaco dinilai patut dan layak menerima kredit tersebut.
Texmaco hanya mendapatkan penjadwalan ulang. Itu wajar, karena sesuai dengan sakala usaha Texmaco dan hasil due diligence pihak ketiga . Lagi pula, sebelum krisis, Texmaco mendapat grace period sekitar dua tahun dan pembayaran kembali 5-6 tahun.
Selain itu, pemerintah kini menguasai 70 persen Texmaco (Newco). Pihak BPPN sudah menjelsakan, porsi kepemilikan 70 – 30 persen di Newco di maksudkan untuk memberikan voting rigts kepada pemerintah dalam mengamankan aset-aset Texmaco. Dengan menguasai mayoritas, maka tak ada penjualan aset Texmaco yang diluar persetujuan BPPN.
Pola restrukturisasi utang Texmaco lebih tepat disebut rescheduling atau penjadwalan ulang. Bukan debt to equity swap. Dan itu sangat wajar, mengingat krisis ekonomi yang begitu dalam – yang antara lain disebabkan oleh kebijakan pemerintah – melipatgandakan jumlah utang. Dengan penjadwalan ulang, utang tetap utang, dan untuk melunasi utang itu diterbitkan exchangeable bonds.
Kwik Kian Gie saat menjabat Menko Ekuin pernah meneudingnya dengan kata pengusaha hitam. Marimutu manggapinya dingin. Menurutnya, kata pengusaha hitam itu lebih bekonotasi rasial. “Apa karena kulit saya ini hitam, maka dibilang pengusaha hitam? Mereka kerap menyebut saya pengusaha keturunan India. Padahal, saya sudah generasi ketiga di Indonesia dan sungguh-sungguh merasa sebagai orang Indonesia. tak mode lagi kita bicara soal SARA. Pengusaha hitam dalam arti moral, saya tak mengerti. Karena kita tak bisa dengan mudah menilai moral seorang, apalagi hanya berdasarkan isu,” katanya.
Texmaco dinilai piawai dalam melobi sehingga selalu survive dalam setiap rezim, mulai dari rezim Soeharto, Habibie, Gus Dur hingga Megawati.
“Kalau kami jago melobi, maka takkan ada pers yang ngerjain Texmaco. Saya akan melobi konglomerat pers, Jakob Oetama, dan para pimpinan media massa terkemuka di negeri ini,” kata Sinivasan
Dia pun mengingatkan kata-kata Goobels, menteri penerangan dan propaganda masa Hitler. Goobels bilang, kebohongan yang digulirkan terus menerus, suatu saat, akan dirasakan sebagai kebenaran. Begitu juga berita bohong tentang Texmaco.
Pabrik engineering Texmaco dibilang barang rongsokan. Stir dan rem truk Perkasa diisukan berkualitas jelek. Mereka tak paham atau pura-pura tak paham bahwa truk Perkasa menggunakan rem angin atau air brakes dan stirnya sudah menggunakan power steering, dan semua mengunakan lisensi dari jerman dan Inggris. Truk Perkasa sudah masuk kategori Euro I dilihat dari emisi gasnya, dan pada tahun depan menjadi Euro II. Banyak truk dan kendaraan di Indonesia saat ini masih belum masuk Euro I dalam hal polusinya.
“Mereka menyebut saya tukang suap. Ada juga berita yang menyebutkan, Rizal Ramli itu konsultan Texmaco dan taufik Kiemas pernah komisaris Texmaco. Sejumlah media terus-menerus menghembus isu pengusaha hitam. Malah sebuah majalah berita mingguan dalam opininya menyatakan, Sinivasan adalah kriminal. Perlu ada poster ‘wanted’ lengkap dengan foto yang disebarkan ke seluruh pelosok negeri.
Opini media itu menyatakan saya tak kooperatif. Padahal, tak pernah satu kalipun saya menolak penggilan Kejakgung. Dan saya juga tak meminta pengampunan utang.
Utang bukan dosa, dan kami besedia membayar semua utang itu. Itu semua dalah trial by the press yang dilakukan dengan sistematis oleh pers yang berkolaborasi dengan kelompok kepentingan tertentu yang menghendaki Texmaco hancur.

Demi Bangsa
Sejak muda, saya sangat terkesan dengan pemikiran para founding father kita. Bung Karno berupaya membangkitkan harga diri bangsa dengan menancapkan pandangan bahwa “ kita bukan bangsa tempe “. Bung Hatta menekankan pentingnya upaya meningkatkan kemampuan ekonomi rakyat, antara lain, lewat koperasi. Sedang Bung Sjahrir mengemukakan pentingnya industrialisasi, modernisasi, dan mekanisasi mulai dari desa-desa.
Saya berupaya melaksanakan gagasan para founding father dengan mengembangkan intellectual capital serta membangun industri engeneering terpadu. Saat ini, ada sekitar 3.000 sarjana yang bekerja di Texmaco.
Para sarjana itu mampu mendesain, membuat mesin-mesin yang digerakkan oleh komputer yang seluruh produk elektroniknya dirancang dan dibangun di Indonesia. Mereka bisa membuat 80 persen mesin industri otomotif, traktor, diesel, transmisi, industri tekstil, alat-alat industri baja dan sebagainya. Semua itu dikerjakan putra Indonesia. Mungkin hanya sekitar 20 persen komponen yang masih diimpor.

Berapa besar aset intelektual yang sudah diciptakan Texmaco?
Mereka mampu membuat mesin tekstil, mesin perkakas berstandar dunia, dan rancang bangun. Kini mereka juga mulai membuat aneka mesin, komponen otomotif, motor, traktor, truk, hingga mobil penumpang. Inilah intangible assets atau aset maya yang tak ternilai harganya.

Mampukah menembus pasar dunia?
Coba tengok Jepang dan Korsel. Saat otomotif Eropa dan AS sudah sangat maju, Jepang belum apa-apa. Kemudian, Korsel baru mencapai tahap kemajuan berarti dalam sepuluh tahun belakangan.
Indonesia sudah melahirkan banyak orang pandai dibidang teknologi. Yang kurang cuma visi dan keberaian para pengambil keputuasan, sikap inferior sekelompok pengamat,kuatnya kepentingan tertentu yang tak menghendaki negara ini mandiri.
Jika kebijakan jangka panjang mendukung, para pengamat tidak onferior, dan tak ada pihak yang terjebak dalam kepentingan yang merugikan bangsa dan negara, bangsa ini bisa menghasilkan produk yang tak kalah dibanding bangsa lain. Produk engineering Texmaco, misalnya, sudah menembus sejumlah negara.
Saat ini, empat perusahaan dari tiga negara adidaya membeli produk Texmaco. General Electric (GE) dari AS memesan komponen gas turbin, generator, dan lokomotif. Tahun 2000, pesanan komponen gas turbin dari Gesekitar 12 juta dolar AS, dan tahun 2001 meningkat menjadi 25 juta dolar AS.
Sedang Hitachi Zosen Corporation, Jepang, memesan berbagai jenis mesin, antara lain untuk kilang minyak, pembangkit listrik,pabrik gula hinga mesin pengolah limbah dan pengolah air laut menjadi air minum. Tehun depan, Hitachi akan memesan komponen, seperti heat exchanger dan furnace senilai 15 juta dolar AS.Texmaco juga akan dilibatkan Hitachi dalam menggarap proyek MRT di luar negeri.
Perkembangan terakhir, Texmaco sudah mendapat pesanan dari dua perusahaan Jerman, Siemens dan Krupps. Siemens, memesan kompnen boikler tenaga listrik uap, sedang krupps alat pertambangan.
Kemudian, Texmaco diikutkan dalam tender di Abudhabi untuk memperebutkan proyek sinilai 60juta dollar. Ikut dalam tender itu perusahaan asal Jepang dan Perancis. Sejumlah negara adidaya yang sudah memesan produk Texmaco menunujukkan bahwa produk Texmaco sudah setara dengan produk perusahaan besar dunia. Para pengkritik Texmaco perlu mempelajari terlebih dahulu kemampuan Texmaco.


Kiat meningkatkan kualitas produk engineering Texmaco?
Kami selalu melakukan bench marking supaya peoduk Texmaco setara dengan produk-produk terbaik di AS, Eropa dan jepang. Texmaco sudah mendapatkan ISO 9001, 9002, dan pada tahun 2001 semua perusahaan Texmaco sudah menerapkan Six Techniques Manufacturing, yang diterapkan oleh GE dan Motorola untuk menjamin zero defect dan produktifitas.
Pihak yang berkomentar negatif tentang truk Texmaco itu pasti orang suruhan dari kelompok kepentingan tertentu. Mereka berkomentar negatif agar produk Texmaco tak laku dijual dan Indonesia terus-menerus tergantung pada produk impor atau produk assembling.
Yang dibangun Texmaco bukanlah industri ringan, misalnya memproses tepung terigu menjadi mie atau batu kapur menjadii semen, Industri yang dibangun Texmaco tak bisa dibanding dengan perusahaan yang dibangun hanya untuk mengejar keuntungan jangka pendek.
Industri engineering yang dibangun Texmaco di Kaliwungu, Karawang dan Subang menjadi tulang punggung industri otomotif, perkapalan, permesinan dan rekayasa, dan sebagainya. Bisa dibayangkan,bila Texmaco sudah mulai memproduksi secara massal mesin tekstil, mesin perkakas, semua jenis mesin, peralatan industri berat,baja, alloysteel, seamless tube, truk, traktor, mobil, dan sebagainya, maka ketergantungan terhadap impor bakal menurun jauh. Kemandirian Indonesia lebih tinggi lagi jika sejumlah perusahaan nasional seperti Bukaka, Bakrie Brothers, Pidad, PAL,PN Dok, IPTN, Barata, Boma, Bisma, Guna Nusa,dan sebagainya sudah berproduksi
Secara normal, dan saling mendukung di antara perusahaan engineering tersebut.
Di luar tekstil, yang dibangun Texmaco bukan hanya otomotif, melainkan engineering terpadu. Bisnis otomotif hanya sekitar 20 persen dari total bisnis engineering yang dirintis sejak 1978. Texmaco kini memproduksi berbagai jenis komponen dari logam, mesin tekstil, mesin perkakas – antaralain CNC (computer numerically controlled) dan mesin perkakas serba guna – peralatan berat, komponen mesin, komponen otomotif seperti blok silinder, gear boxes, gers, dsb.
Industri engineering Texmaco yang terletak di Klaiwungu (Jateng), kKrawang dan Subang (Jabar) adalah yang terbesar di Asia Tenggara. Texmaco memiliki foundry atau industri peleburan logam dan sudah menguasai teknologi rancang bangun dan pabrikasi berkelas dunia. Pabrik PTA (purified terepthalic acid)milik Texmaco dibangun sendiri oleh Texmaco.
Di bidang otomotif, Texmaco sudah membuat truk, traktor, dan bus. Kemudian akan mulai memproduksi mobil penumpang kelas kendaraan niaga kategori satu.
Kita ini negara agraris dengan penduduk besar, tapi sektor pertanian dan agrobisnis justru tercecer. Texmaco ingin memproduksi berbagai jenis mesin untuk pertanian dan perikanan, traktor untuk mengolah lahan pertanian,dan mobil untuk alat transportasi rakyat.
Ini semua membutuhkan investasi besar. Daewoo dan Hyundai, Korsel menanamkan dana sekitar 70 miliar dolar AS untuk membangun industri engineering yang integrated. Yang dilakukan Texmaco tak banyak beda dengan Daewoo dan Hyundai, tapi investasi yang sudah dikeluarkan baru sekitar 1,8 miliar dolar AS. Di negara lain, industri engineering yang terintegrasi seperti Texmaco memang mendapat dukungan pemerintah dan masyarakat.

Apa karya yang paling Anda banggakan?
Saya ingin menjadi salah seorang yang membangun industri engineering, otomotif, dan elektronik di Indonesia dalam arti sesungguhnya. Seperti cita-cita para founding fathers, kita bisa menunjukkan kepada dunia bahwa kita bukanlah bangsa tempe. Itulah kebanggaan saya.

Kesibukan Anda setiap hari?
Bangun pagi, olah raga ringan di rumah, membacadan ke kantor. Saya bekerja hingga sore, dan kadang-kadang, hingga di atas pukul 18.00 hari Sabtu saya juga ke kantor.
Bukannya main golf?
Tak pernah dan tak berminat. main tenis pun tidak. Kalau olah raga,ya,di rumah saja. Waktu luang saya gunakan untuk membaca.


Nggak menikmati hidup, dong.
Siapa bilang. Kalau ukuran menikmati hidup adalah jenis olah raga kan terlalu sederhana. Kita harus memperhatikan fungsi olah raga sebagai sarana olah badan untuk mencapai kebugaran. Bagaimana menikmati hidup kan sangat tergantung pada pandangan kita terhadap hidup itu sendiri. Saya bahagia bila saya berbuat sesuatu yang berguna bagi orang lain, minimal tak merugikan. *** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia), dari Investor dan berbagai sumber)

Saturday, April 3, 2010

Kronologis Kasus BLBI [Bagian I]

Kasus BLBI ini sungguh sangat menarik perhatianku. Bukan hanya karena si Aulia Pohan menjadi tersangka dalam kasus ini. Tapi dikarenakan fakta-fakta yang terungkap di dalam persidangan dan realita sebenarnya yang terjadi dalam kasus ini.

1. Aku baru tau ternyata sungguh banyaksekali uang negara yang sebenarnya lenyap akibat BLBI ini, ratusan triliunan coy!!!!! Gilak. Sungguh-sungguh diluar akal sehat pikiranku.

2. Sangat banyak pemain yang terlibat dalam kasus ini. Kita sebut saja Mendiang Presiden Suharto, Menteri-menteri yang terkait pada jaman 1997-2004, seperti Menteri Perekonomian dan Perindustrian, Menteri Keuangan, dan bahkan Menteri Sekretaris Negara. Kemudian Pejabat-pejabat Bank Indonesia hampir semuanya terlibat, Mulai dari Gubernurnya, Direksi, Deputi, bahkan Koordinator Bidangnya juga terlibat. Kejaksaan Agung juga terlibat berikutnya, karena a, ku nilai sangat melindungi Obligor-obligor yang terlibat hutang BLBI, dan juga melindungi pejabat-pejabat Pemerintah dan BI. Apalagi Anggota DPR masa jabatan 1999-2004 yang menangani bidang Ekonomi dan Keuangan, dimana kita sudah tau semua pada masa itu ada usaha proses gratifikasi untuk melenyapkan kasus ini dari muka bumi. Wuihh…!!

Untuk sementara ini aja dulu uneg-uneg aku terhadap Kasus BLBI. Sekarang mari kita lihat dulu kronologi awal mulanya terjadinya kasus BLBI yang dimulai dari tahun 1997. Dibaca dengan seksama karena sangat panjang, biar paham terhadap masalah ini.

sumber : infoblbi.com

11 Juli 1997
Pemerintah Indonesia memperluas rentang intervensi kurs dari 192 (8 persen) menjadi 304 (12 persen), melakukan pengetatan likuiditas dan pembelian surat berharga pasar uang, serta menerapkan kebijakan uang ketat

14 Agustus 1997
Pemerintah melepas sistem kurs mengambang terkendali (free floating). Masyarakat panik, lalu berbelanja dolar dalam jumlah sangat besar. Setelah dana pemerintah ditarik ke Bank Indonesia, tingkat suku bunga di pasar uang dan deposito melonjak drastis karena bank-bank berebut dana masyarakat.

1 September 1997
Bank Indonesia menurunkan suku bunga SBI sebanyak tiga kali. Berkembang isu di masyarakat mengenai beberapa bank besar yang mengalami kalah kliring dan rugi dalam transaksi valas.
Kepercayaan masyarakat terhadap bank nasional mulai goyah. Terjadi rush kecil-kecilan.

3 September 1997
Sidang Kabinet Terbatas Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Pembangunan serta Produksi dan Distribusi berlangsung di Bina Graha dipimpin langsung oleh Presiden Soeharto. Hasil pertemuan: pemerintah akan membantu bank sehat yang mengalami kesulitan likuiditas, sedangkan bank yang ”sakit” akan dimerger atau dilikuidasi. Belakangan, kredit ini disebut bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

1 November 1997
16 bank dilikuidasi.

26 Desember 1997
Gubernur Bank Indonesia Soedradjad Djiwandono melayangkan surat ke Presiden Soeharto, memberitahukan kondisi perbankan nasional yang terus mengalami saldo debit akibat tekanan dari penarikan dana nasabah. Soedradjad mengusulkan agar mengganti saldo debit dengan surat berharga pasar uang (SBPU) khusus.

27 Desember 1997
Surat Gubernur BI dijawab surat nomor R-183/M.Sesneg/12/1997 yang ditandatangani Mensesneg Moerdiono. Isinya, Presiden menyetujui saran direksi Bank Indonesia untuk mengganti saldo debit bank dengan SBPU khusus agar tidak banyak bank yang tutup dan dinyatakan bangkrut.

31 Desember 1997
Keran uang Bank Indonesia mulai dibuka, dan mengucurlah aliran dana besar-besaran ke bank-bank yang saat itu mengalami masalah.

15 Januari 1998
Penandatanganan Letter of Intent. Dalam LoI, pemerintah mendapat pembenaran untuk memberikan bantuan likuiditas kepada bank yang sekarat karena krisis ekonomi.

26 Januari 1998
Pemerintah mengeluarkan Keppres No. 26/1998 tentang Program Penjaminan.

27 Januari 1998
BPPN didirikan dan tugas penagihan utang BLBI dialihkan ke BPPN

11 Februari 1998
Gubernur BI Soedradjad Djiwandono diganti oleh Syahril Sabirin. Salah satu direktur BI, Budiono, juga dicopot.

20 Februari 1998
Presiden Soeharto menyetujui pengembalian dana nasabah 16 bank yang dicabut izin usahanya, 1 November 1997.

5 Maret 1998
Pemerintah mengeluarkan Keppres No 34 Tahun 1998 tentang tugas dan wewenang BPPN

2 April 1998
Pemerintah mengumumkan akan mencetak Rp 80 triliun uang baru sebagai pengganti dana BI yang dikucurkan ke bank-bank yang dialihkan ke BPPN.

4 April 1998
Pemerintah membekuoperasikan (BB0) 7 Bank da mengambil alih 7 bank (BTO). Ini dikenal sebagai likuidasi tahap II.

10 April 1998
Menkeu diminta untuk mengalihkan tagihan BLBI kepada BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) dengan batas waktu pelaksanaan 22 April 1998

Mei 1998
BLBI yang dikucurkan pada 23 bank mencapai Rp 164 triliun, dana penjaminan antarbank Rp 54 triliun, dan biaya rekapitalisasi Rp 103 triliun. Adapun penerima terbesar (hampir dua pertiga dari jumlah keseluruhan) hanya empat bank, yakni BDNI Rp 37,039 triliun, BCA Rp 26,596 triliun, Danamon Rp 23,046 triliun, dan BUN Rp 12,067 triliun.

4 Juni 1998
Pemerintah diminta membayar seluruh tagihan kredit perdagangan (L/C) bank-bank dalam negeri oleh Kesepakatan Frankfurt. Ini merupakan prasyarat agar L/C yang diterbitkan oleh bank dalam negeri bisa diterima di dunia internasional. Pemerintah nterpaksa memakai dana BLBI senilai US$ 1,2 miliar (sekitar Rp 18 triliun pada kurs Rp 14 ribu waktu itu).

21 Agustus 1998

Pemerintah memberikan tenggat pelunasan BLBI dalam tempo sebulan. Bila itu dilanggar, ancaman pidana menunggu.

21 September 1998
Tenggat berlalu begitu saja. Boro-boro ancaman pidana, sanksi administratif pun tak terdengar.

26 September 1998
Menteri Keuangan menyatakan pemerintah mengubah pengembalian BLBI dari sebulan menjadi lima tahun.

27 September 1998
Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri Ginandjar Kartasasmita meralat angka lima tahun. Menurut Ginandjar, pemerintah minta pola pembayaran BLBI tunai dalam tempo setahun.

18 Oktober 1998
Hubert Neiss (Direktur IMF kawasan Asia Pasifik) melayangkan surat keberatan. Dia minta pelunasan lima tahun.

10 November 1998
Pengembalian BLBI ditetapkan 4 tahun. Tahun pertama 27 persen, sisanya dikembalikan dalam tiga tahun dalam jumlah yang sama. Jumlah kewajiban BLBI dari BTO (bank take-over) dan BBO (bank beku operasi) saat itu adalah Rp 111,29 triliun.

8 Januari 1999
Pemerintah menerbitkan surat utang sebesar Rp 64,5 triliun sebagai tambahan penggantian dana yang telah dikeluarkan BI atas tagihan kepada bank yang dialihkan ke BPPN.

6 Februari 1999
BI dan Menkeu membuat perjanjian pengalihan hak tagih (on cessie) BLBI dari BI kepada pemerintah senilai Rp 144,53 triliun

8 Februari 1999
Penerbitan Surat Utang Pemerintah No SU-001/MK/1998 dan No SU-003/MK/1998.

13 Maret 1999
Pemerintah membekukan kegiatan usaha 38 bank, mengambil alih 7 bank, dan merekapitalisasi 7 bank

Februari 1999
DPR RI membentuk Panja BLBI

19 Februari 1999
Ketua BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan) Soedarjono mengungkapkan adanya penyelewengan dana BLBI oleh para bank penerima. Potensi kerugian negara sebesar Rp 138,44 triliun (95,78%) dari total dana BLBI yang sudah disalurkan.

13 Maret 1999
Pemerintah mengumumkan pembekuan usaha (BBKU) 38 bank

14 Maret 1999
Pemerintah dan BI mengeluarkan SKB Penjaminan Pemerintah

17 Mei 1999
UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia ditandatangani Presiden Habibie. Dalam UU itu disebutkan bahwa BI hanya dapat diaudit oleh BPK, dan direksi BI tak dapat diganti oleh siapa pun.

1 September-7 Desember 1999
BPK mengaudit neraca BI per 17 Mei 1999 dan menemukan bahwa jumlah BLBI yang dapat dialihkan ke pemerintah hanya Rp 75 triliun, sedangkan Rp 89 triliun tidak dapat dipertangggungjawabkan. BPK menyatakan disclaimer laporan keuangan BI. Tapi, pejabat BI menolak hasil audit. Alasannya, dana BLBI itu dikeluarkan atas keputusan kabinet.

28 Desember 1999
Pemerintah melalui Kepala BPPN Glen Yusuf memperpanjang masa berlaku program penjaminan terhadap kewajiban bank.

Desember 1999
BPK telah menyelesai-kan audit BI dan terdapat selisih dari dana BLBI sebesar Rp 51 triliun yang tidak akan dibayarkan pemerintah kepada BI, terutama karena penggunaannya tidak dapat dipertanggung-jawabkan.

5 Januari 2000
Ada perbedaan jumlah BLBI antara pemerintah dan BI. Pemerintah menyebut BLBI sebesar Rp 144,5 triliun plus Rp 20 triliun untuk menutup kerugian Bank Exim (Mandiri). Tapi, menurut BI, masih ada Rp 51 triliun dana BLBI yang harus ditalangi pemerintah. Dana sebanyak itu diberikan BI kepada bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas selama November 1997-Januari 1998.

10 Januari 2000
Bocoran hasil audit KPMG (Klynveld Peat Marwick Goerdeler) yang ditunjuk BPK untuk mengaudit neraca awal BI beredar di kalangan wartawan. Audit itu menemukan bahwa penyelewengan BLBI berjumlah Rp 80,25 triliun.

29 Januari 2000
Audit BPK menemukan fakta bahwa 95,78 persen dari BLBI sebesar Rp 144,54 triliun berpotensi merugikan negara karena sulit dipertanggung-jawabkan.tersangka dalam kasus cessie Bank Bali.

21 Juni 2000
Gubernur Bank Indonesia, Syahril Sabirin, ditahan Kejaksaan Agung dengan status sebagai tersangka

Juli 2000
Menko Ekuin Kwik Kian Gie ingin merevisi MSAA, tapi Ketua BPPN Cacuk Sudarijanto menyatakan MSAA tetap berlaku.

22 Juli 2000
Hasil audit BPKP menunjukkan, dari total BLBI (posisi audit per 31 Januari 2000) sebesar Rp 106 triliun, Rp 54,5 triliun diselewengkan. Jumlah ini diberikan kepada 10 BBO dan 32 BBKU yang men-jadi obyek audit BPKP.

31 Juli 2000
LoI ketiga ditandatangani. BPPN diharuskan mengambil tindakan hukum terhadap semua obligor, termasuk penanda tangan surat penyelesaian utang MSAA (Master Settlement for Acquisition Agreement) yang tidak menaati pengembalian BLBI.

1 Agustus 2000
Presiden Abdurrahman menyetujui revisi MSAA, sehingga debitor tetap dapat dituntut bila aset yang mereka serahkan jauh di bawah jumlah utangnya.

Agustus 2000

Kepala BPPN hanya menarget-kan pengembalian utang BLBI sebesar 30-40 persen.

5 Agustus 2000
Giliran BPK mengumumkan hasil audit menyeluruh BLBI: dari Rp 144,5 triliun BLBI, potensi kerugian negara Rp 138,4 triliun; dan dari 48 bank penerima, ada penyelewengan penggunaannya sebesar Rp 84,8 triliun. Yang dapat dipertanggungjawabkan hanya Rp 34,7 triliun (25 persen).

September 2000
Deputi Gubernur BI, Burhanuddin Abdullah, menolak hasil audit BPK. Katanya, potensi kerugian negara dari BLBI yang besarnya Rp 138 triliun tidak proporsional. Lagi pula, dana itu keluar karena kebijakan presiden untuk menolong bank-bank yang sekarat.

9 Oktober 2000
Ketua BPK Billy Judono mengatakan bahwa BLBI sudah diberikan oleh BI sejak 1991 hingga 1996. Jadi, tidak benar bahwa BI hanya bertanggung jawab saat krisis saja.

18 Oktober 2000
Komisi IX DPR yang membidangi perbankan menolak jumlah BLBI yang ditanggung BI hanya sebesar Rp 24,5 triliun. “Jumlah ini merendahkan hasil audit BPK,” kata anggota dewan

26 Oktober 2000
Jaksa agung menunda proses hukum terhadap 21 obligor agar mereka punya kesempatan melunasi dana BLBI.

1 November 2000
DPR, Pemerintah dan BI menetapkan keputusan politik menyangkut pembagian beban antara Pemerintah dan BI terhadap dana BLBI yang sudah dikucurkan

Awal November 2000
Sumber di BI menyatakan, tanggung jawab BI terhadap BLBI hanya Rp 48 triliun, terhitung sejak 3 September 1997-29 Januari 1999, bukan sebelum dan sesudahnya

2 November 2000
BPK mengancam BI akan memberikan opini wajar dengan pengecualian terhadap laporan neraca BI jika dana BLBI tidak dapat dituntaskan.

17 November 2000
Pukul 16.30, pejabat teras BI menyatakan mundur serentak. Mereka yang mundur adalah Deputi Senior Gubernur Anwar Nasution, Deputi Gubernur Miranda Goeltom, Dono Iskandar, Achwan, dan Baharuddin Abdullah, dengan alasan tak mendapat dukungan politik pemerintah dan DPR. Sedangkan Syahril Sabirin, Achjar Iljas, dan Aulia Pohan tidak mundur. Pokok-pokok Kesepakatan Bersama antara Pemerintah dan BI ditetapkan. Berdasarkan kesepakatan ini, BI menanggung beban Rp 24,5 triliun dan sisanya menjadi beban Pemerintah.

3 Januari 2001
Dua Deputi BI Aulia Pohan dan Iwan G Prawiranata ditingkatkan berkasnya ke penyidikan berkaitan dengan keterlibatan mereka dalam penyalahgunaan dana BLBI

7 Maret 2001
DPR mengusulkan pembentukan Pansus BLBI DPR. Pembentukan Pansus ini dipicu oleh pernyataan Menkeu Prijadi Praptosuhardjo yang menyebutkan pemerintah belum menyepakati jumlah tanggungan BI sebesar Rp 24,5 miliar.

10 Maret 2001

Pemilik BUN Kaharuddin Ongko ditahan Kejaksaan Agung atas tuduhan penyelewengan dana BLBI

22 Maret 2001
Pemilik Bank Modern, Samandikun Hartono ditahan Kejaksaan Agung atas tuduhan penyelewengan dana BLBI

9 April 2001
Dirut BDNI Sjamsul Nursalim yang bersatus tersangka penyelewengan dana BLBI dicekal Kejaksaan Agung. Selain Sjamsul, David Nusawijaya (Sertivia) dan Samandikun Hartono (Bank Modern) juga dicekal.

29 Maret 2001
Kejagung mencekal mantan ketua Tim Likuidasi Bank Industri (Jusup Kartadibrata), Presider Bank Aspac (Setiawan Harjono).

2 April 2001
Pelaksanaan Program Penjaminan dana nasabah yang semula diatur melalui SKB antara BI dan BPPN diubah dengan SK BPPN No 1036/BPPN/0401 tahun 2001.

30 April 2001
Kejagung membebaskan David Nusawijaya, tersangka penyelewengan BLBI. Selain itu, Kejagung juga mencekal 8 pejabat bank Dewa Rutji selama 1 tahun.

2 Mei 2001
Kejagung membebaskan 2 tersangka penyelewengan BLBI (Samandikun Hartono dan Kaharuddin Ongko) dan mengubah statusnya menjadi tahanan rumah.

19 Juni 2001
Wapresider Bank Aspac, Hendrawan Haryono dijatuhi hukuman 1 tahun penjara dan dikenai denda Rp 500 juta. Ia didakwa telah merugikan negara sebesar Rp 583,4 miliar

21 Juni 2001
Mantan Direksi BI Paul Sutopo ditahan di gedung Bundar oleh aparat Kejagung.

24 Januari 2002 (!!)
Gubernur BI Syahrir Sabirin mengeluarkan SK No 4/1/KEP.GBI/INTERN/2002 tentang pembentukan Satuan Tugas Penyelesaian BLBI. Satgas ini bertugas mengkordinasikan penyelesaian BLBI dan memberikan rekomendasi penyelesaian BLBI yang mencakup bidang keuangan, bidang hukum dan bidang citra. Satgas ini diketuai oleh M Ali Said, sedangkan Rusli Simandjuntak menjadi ketua I. Satgas dikordinasikan oleh Direktorat Keuangan Intern BI yang dijabat Bun Bunan Hupatea.

31 Mei 2002
Tim Bantuan Hukum Komite Kebijakan Sektor Keuangan menyampaikan Laporan Pemeriksaan Kepatuhan Anthony Salim, Andre Salim dan Sudono Salim untuk memenuhi Kewajiban-kewajibannya dalam MSAA tanggal 21 September 1998. Dalam bagian kesimpulannya, TBH antara lain menyatakan meski telah memenuhi sebagian besar kewajiban-kewajibannya, namun secara yuridis formal telah terjadi pelanggaran, atau kelalaian atau cidera janji atau ketidakpatuhan, atas kewajiban-kewajibannya dalam MSAA yang berpotensi merugikan BPPN.

11 Januari 2007
Dua petinggi Salim Grup (Anthony Salim dan Beny Setiawan) menjalani pemeriksaan di Mabes Polri atas tuduhan telah menggelapkan aset yang telah diserahkan kepada BPPN sebagai bagian pembayaran utangnya. Aset yang digelapkan itu meliputi tanah, bangunan pabrik dan mesin-mesin di perusahaan gula Sugar Grup

19 Februari 2007
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI di Gedung MPR/DPR RI menegaskan terhadap 8 obligor yang bermasalah, pemerintah akan menggunakan kesepakatan awal APU plus denda. “Kami tetap akan menjalankan sesuai keyakinan pemerintah bahwa mereka (delapan obligor BLBI, red) default. Tagihan kepada mereka adalah Rp 9,3 triliun,” tegas. Ke delapan obligor itu adalah James Sujono Januardhi dan Adisaputra Januardhy (Bank Namura), Ulung Bursa (Bank Lautan Berlian), Lidia Muchtar (Bank Tamara), Marimutu Sinivasan (Bank Putra Multikarsa), Omar Putihrai (Bank Tamara), Atang Latief (Bank Bira), dan Agus Anwar (Bank Pelita dan Istimarat).

18 September 2007
Sejumlah anggota DPR mengajukan hak Interpelasi mengenai BLBI kepada Pimpinan DPR

4 Desember 2007
Rapat Paripurna DPR menyetujui Hak Interpelasi Atas Penyelesaian KLBI dan BLBI yang diajukan 62 pengusul.

21 Januari 2008
Ormas-ormas Islam yang tergabung dalam “Jihad Melawan Koruptor BLBI” memberikan penghargaan terhadap sejumlah anggota DPR yang dinilai benar-benar serius hendak mengungkap kasus BLBI.

28 Januari 2008
DPR – RI secara resmi mengirimkan surat kepada Presiden RI agar memberikan keterangan di depan Rapat Paripurna DPR sekaitan Hak Interpelasi atas penyelesaian KLBI dan BLBI.

29 Januari 2008
Ratusan orang yang tergabung dalam GEMPUR berunjuk rasa di depan gedung DPR. Mereka curiga ada anggota DPR yang menjadi beking para obligor BLBI.

12 Februari 2008
Pemerintah yang diwakili Menko Perekonomian Boediono menyampaikan jawaban pemerintah terhadap 10 pertanyaan terkait penyelesaian BLBI di depan Rapat Paripurna DPR. Ketika membacakan keterangan, lebih separuh anggota dewan meninggalkan ruang sidang. Pada awalnya, Rapat Paripurna diwarnai hujan interupsi yang mempersoalkan ketidakhdiran SBY dan lembaran jawaban yang hanya ditandatangani Boediono saja.

29 Februari 2008

Jaksa Agung Muda Pidana Khusus, Kemas Yahya Rahman, menyatakan Tim 35 yang melakukan penyelidikan kasus ini BLBI I dan BLBI II tidak menemukan adanya pelanggaran pidana yang dilakukan Anthony Salim dan Sjamsul Nursalim. Menurut Kemas Yahya, sesuai dengan surat penyelesaian utang Master Settlement for Acquisition Agreement atau MSAA, kewajiban debitor kepada pemerintah dianggap selesai jika aset yang dinilai sesuai dengan kewajiban dan diserahkan kepada pemerintah. “Kami sudah berbuat semaksimal mungkin dan kami kaitkan dengan fakta perbuatannya. Hasilnya tidak ditemukan perbuatan melanggar hukum yang mengarah pada tindakan korupsi,” kata Kemas Yahya Rachman.

2 Maret 2008
Jaksa Urip Tri Gunawan yang menjadi ketua Tim Jaksa BLBI II dicokok aparat KPK seusai bertandang ke rumah milik pengusaha Syamsul Nursalim di Jalan Hang Lekir, Jakarta Selatan, Dari tangan Urip, penyidik KPK menyita uang sebesar US$ 660 ribu atau sekitar Rp 6 miliar. Uang ini diduga sebagai uang suap terkait kasus BLBI. Selain Urip, KPK juga menahan Artalyta Suryani, seorang pengusaha yang diketahui dekat dengan Sjamsul Nursalim dan juga Anthony Salim

2 Maret 2008

Wacana perguliran tentang hak angket mulai mengemuka di kalangan anggota DPR menyusul tertangkapnya jaksa Urip Tri Gunawan.

8 Maret 2008

Guru Besar Hukum Pidana Internasional Unpad Bandung, Romli Atmasasmita. mengusulkan agar KPK mengambil alih pengusutan BLBI. Menurut dia, kasus BLBI telah masuk ranah pidana, karena obligor yang tidak membayar menyebabkan negara rugi. Selain itu, ada unsur penipuan di dalamnya, karena tidak ada niat dari obligor nakal untuk melunasi utangnya. Saran ini mengacu pada pasal 8 ayat 2 UU KPK yang memberi wewenang KPK mengambil alih penyidikan atau penuntutan pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan polisi atau jaksa.

10 Maret 2008

Usulan hak angket kasus BLBI sudah diedarkan kepada para anggota DPR. Usulan hak angket dimunculkan karena langkah penyelesaian kasus BLBI secara hukum yang dirintis Kejaksaan Agung ternyata berakhir antiklimaks. Kejagung menghentikan penyelidikan kasus yang diduga melibatkan sejumlah pengusaha kelas kakap itu. “Apalagi dengan adanya jaksa yang tertangkap tangan menerima suap. Inilah yang menyebabkan kami akan menggunakan hak angket,” ujar Dradjad Wibowo, anggota DPR dari Fraksi PAN

13 Maret 2008

Empat orang inisiator hak angket BLBI, Soeripto, Dradjad Wibowo, Abdullah Azwar Anas dan Ade Daud Nasution secara resmi menyerahkan draft hak angket kasus BLBI ke pimpinan DPR, Draft tersebut diterima langsung oleh Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar di ruang kerjanya. Sebanyak 55 anggota DPR telah memberikan tanda tangan sebagai bentuk dukungan.

6 Mei 2008

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan permohonan praperadilan Masyarakat Antikorupsi Indonesia terhadap surat perintah penghentian penyidikan (SP3) yang dikeluarkan Kejaksaan Agung atas kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Syamsul Nursalim. Kejaksaan Agung langsung menyatakan banding.

http://bcwbanten.blogspot.com/2008/02/skandal-blbi.html

http://www.antara.co.id/arc/2008/2/12/kpk-periksa-tiga-pejabat-terkait-kasus-aliran-dana-bi/

http://sijorimandiri.net/jl/index.php?option=com_content&task=view&id=16335&Itemid=87

Entry Filed under: I'm very hate my country, Politik. Tag: fakta, Kronologis Kasus BLBI, Politik.

Kronologis Kasus BLBI [HABIS]

Desember 4, 2008

Sambungan…

Lihat tulisan sebelumnya :

Kronologis Kasus BLBI [Bagian I]

Kronologis Kasus BLBI [Bagian II]

Nah, setelah mengetahui apa penyebab utama lahirnya BLBI, lalu apa hubungannya BLBI dengan pejabat-pejabat negara ini seperti Kejaksaan Agung, Bank Indonesia, dan Anggota DPR? Banyak sekali hubungan dan keterkaitannya yang sudah terjalin dengan erat sejak lama. Mari kita pahami menurut kacamata saya berikut ini:

1. Kejaksaan Agung

Kejaksaan Agung telah menerima suap dari Artalyta Suryani – istri mendiang Surya Dharma (mantan Bos PT. Gajah Tunggal) – untuk memberhentikan kasus BLBI yang melibatkan Pemilik Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) Syamsul Nursalim, yang notabene juga pemilik PT. Gajah Tunggal. Syamsul sendiri sampai sekarang tidak diketahui dimana rimbanya. Aku juga bingung, napa si Ayi (Artalyta) ini mati-matian membela Syamsul. Apa si Ayi ini gundik si Syamsul, atau si Ayi akan diberikan iming-iming hadiah yang sangat besar.

Ayi terbukti telah menyuap Ketua Tim Jaksa Kasus BLBI Urip Tri Gunawan sebesar $ 660 ribu atau sebesar +/- 6 miliar. Ayi juga terbukti bersekongkol dengan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kemas Yahya Rahman dan Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara Untung Udji Santoso. Apalagi setelah Urip ditangkap dan dicekal periode Februari s/d September 2008. Ayi berusaha mati-matian untuk mencari “orang dalam” lagi. Walaupun akhirnya dia divonis penjara selama 5 tahun. Sedangkan Jaksa Urip divonis penjara selama 20 tahun (banding). Dan Jaksa Kemas dan Jaksa Untung “hanya” dicopot jabatannya di Kejaksaan. Untuk melihat script pembicaraan Antara Ayi dengan Uri, Ayi dengan Kemas, dan Ayi dengan Untung dapat dilihat disini.

2. Bank Indonesia

Gubernur Bank Indonesia pada masa dikucurkannya dana BLBI tahun 1997-1998, Soedradjad Djiwandono pernah diperiksa dalam kaitannya dengan aliran dana BLBI tersebut. Dimana Soedrajad diperiksa karena bertanggung jawab terhadap dikeluarkannya dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia untuk membantu Bank-Bank di Indonesia dalam menanggulangi krisis ekonomi dunia pada masa itu. Pejabat lainnya yang ikut terlibat antara lain Deputi Gubernur BI Iwan R Prawiranata, dan tiga Direksi BI, yaitu Heru Supraptomo, Hendro Budianto, dan Paul Sutopo. Dari kasus-kasus itu, penyidikan perkara Iwan R Prawiranata dan Soedradjad Djiwandono dihentikan oleh kejaksaan alias SP3 (Surat Penghentian Penyidikan Perkara).

Ada yang janggal? Pasti! SP3 sangat rawan terjadi suap menyuap. Apalagi ini kasus besar. Apalagi setelah Artalyta dan Urip divonis bersalah seharusnya SP3 untuk kasus Soedrajat bisa dicabut kembali dan akan diperiksa kembali.

3. YPPI, BPK, dan Bank Indonesia

Apa sih hubungan Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) dengan Kasus BLBI? YPPI merupakan Yayasan di bawah kendali Bank Indonesia. Dana YPPI pernah diselewengkan sebanyak 100 M. Penemu kasus aliran dana BI, Auditor Utama III BPK Soekoyo, membeber asal mula terkuaknya kasus tersebut. Masalah ini dimulai dengan adanya pemeriksaan laporan keuangan BI tahun buku 2004 yang pemeriksaannya dilaksanakan pada 2005.

Dari sinilah awal mulanya bencara itu terjadi (bagi pejabat-pejabat)

Ternyata dalam laporan keuangannya terdapat penurunan aset yang cukup signifikan. Dari Juni 2003 saat namanya YLPPI sampai Desember 2003 yang namanya YPPI. Tadinya YLPPI beraset Rp 271 miliar, namun pada Desember asetnya tinggal Rp 179 miliar. Berarti ada penurunan aset Rp 92 miliar.

Itu memicu BPK untuk melakukan pemeriksaan lanjutan. Ternyata, dari hasil pemeriksaan diketahui adanya penggunaan dana oleh BI Rp 100 miliar. Pencairan dana itu dilakukan beberapa kali antara Juni sampai Desember 2003.

BPK sebenarnya telah memberikan waktu yang cukup bagi BI untuk menindaklanjuti temuan BPK itu dengan menyelesaikan dana yang diperoleh dari YPPI. Pemberian waktu tersebut dimaksudkan untuk menyelamatkan keuangan negara. Sayang, lanjutnya, imbauan dan toleransi waktu yang diberikan itu tidak mendapat tanggapan dari BI. Oleh karena itu, BPK pada 14 November 2006 melaporkannya ke KPK untuk dicari penjelasannya.

Dalam laporan itu disebutkan, melalui rapat Dewan Gubernur BI pada 3 Juni 2003 diputuskan meminta YPPI menyediakan dana sebesar Rp100 miliar untuk dua keperluan. Dewan Gubernur BI saat itu adalah Burhanuddin Abdullah (Gubernur BI), Anwar Nasution (Deputi Gubernur Senior), dan seluruh Deputi Gubernur BI yang terdiri dari Aulia Pohan, R Maulana Ibrahim, Maman H Somantri, Bun Bunan EJ Hutapea, dan Aslim Tadjuddin.

Pertama, pencairan dana Rp68,5 miliar untuk membantu proses hukum kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang melibatkan lima mantan dewan gubernur dan mantan direksi BI yaitu Soedrajad Djiwandono (mantan Gubernur BI), Iwan R Prawiranata (mantan Deputi Gubernur BI), Heru Soepratomo (mantan Deputi Gubernur BI), Hendrobudiyanto (mantan direksi BI), dan Paul Sutopo (mantan direksi BI). Mereka terjerat hukum dalam kasus BLBI, kredit ekspor, dan kasus lainnya sehubungan dengan penanganan krisis ekonomi 1997-1998.

Berarti masih ada hubungan yang erat antara kasus BLBI dengan YPPI. Coba kalau Dana YPPI tersebut tidak dicairkan untuk membantu kasus hukum mantan pejabatnya dan untuk dana lainnya, tentu laporan BPK tidak ada yang cacat dan tentu saja tidak merembet ke kasus hukum pejabat-pejabat yang terkait.

Dalam kasus ini, Burhanuddin akhirnya divonis penjara 5 tahun dan denda 250 juta. Menunggu vonis berikutnya adalah para peserta Rapat Dewan Gubernur lainnya. Dimana status mereka pada saat ini sudah ditetapkan menjadi tersangka yaitu : Aulia Pohan, Maman H Somantri, Bun Bunan EJ Hutapea, dan Aslim Tadjuddin.

Sedangkan Anwar Nasution si Pelapor sendiri juga sedang sangat gelisah. Gimana gak gelisah, para terdakwa lainnya juga ikut menyeret dia dalam kasus ini. Dimana disebutkan Anwar juga ikut dalam rapat Dewan Gubernur BI tersebut. Sedangkan dia menyangkal hal tersebut. Haks…haks… lucu juga ya kalau si Pelapor akhirnya menjadi Tersangka juga. Betapa sialnya dirinya.

4. Anggota DPR

Aku yakin sebenarnya Dana BLBI sebesar 144 Triliun juga dinikmati oleh Anggota DPR pada masa 1999 – 2004. Pada masa kekuasaan Gus Dur dan Megawati Sukarnoputri. Simpel aja ceritanya. Dana aliran BLBI ini sudah sangat dibiarkan berlarut-larut. Seharusnya kalau penegakan hukum negara ini jujur, sudah sejak tahun 2001 s/d 2003 masalah ini sudah selesai. Tapi karena banyaknya indikasi dugaan suap-menyuap untuk menutup kasus ini. Diantaranya mungkin Menyuap Kejaksaan lah untuk meng-SP3-kan kasus BLBI, dan menyuap anggota DPR untuk meng-gratifikasikan kasus BLBI. Gampang aja toh bagi Obligor-obligor yang diberi dana BLBI untuk menyuap Kejaksaan dan Anggota DPR. Bagi mereka 1 miliar sampai 50 miliar masih sangat kecil dibandingkan Triliunan Rupiah yang mereka terima.

Tapi masalahnya, untuk membuktikan terjadinya suap menyuap terhadap anggota DPR untuk kasus BLBI sekarang ini pasti sangat sulit sekali. Disamping karena kasusnya udah sangat lama terjadi, juga karena pelaku-pelaku nya juga akan susah sekali untuk dikumpulkan. Ntah obligornya sudah melarikan diri, ntah anggota DPR nya sudah pikun atau meninggal, ntah juga mereka tidak mau mengakui lagi keterlibatan mereka. Ahh, panjang sekali lah ceritanya untuk mengungkapkan dan siapa saja yang terlibat kasus BLBI ini. KPK punya PR yang sangat berat sekali untuk kasus ini.

Tapi, untuk menyegarkan ingatan kita betapa rawannya aktifitas suap-menyuap di negeri ini, kita liat aja kasus aliran Dana Bank Indonesia yang masih ada hubungannya dengan Kasus BLBI. Dimana Aliran Dana Bank Indonesia juga terbukti telah mengalir kepada Anggota DPR kita.

Disebutkan diatas tadi, bahwa Dana YPPI dikeluarkan selain untuk membantu Mantan Pejabat BI yang terlibat kasus BLBI, juga diberikan untuk Anggota DPR.

Dana sebesar Rp 31,5 miliar diserahkan kepada Komisi IX DPR periode 1999-2004 untuk pembahasan dan diseminasi sejumlah UU tentang BI, dan Penyelesaian masalah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Gak ngerti maksudnya apa. Bahasa gaulny mungkin ya. Tapi intinya bagiku adalah SUAP.

Hasil audit menyebutkan dana untuk Komisi IX DPR periode 1999-2004 dicairkan melalui tujuh cek yang dikeluarkan bertahap mulai 30 Juni hingga 8 Desember 2003.

Pencairan melalui tim sosialisasi yang terdiri atas tiga pejabat BI, yakni Oey Hoey Tiong yang saat itu menjabat deputi direktur direktorat hukum, Rusli Simanjuntak (kepala biro gubernur), dan Asnar Ashari. Menurut pengakuan Oey Hoey Tiong dan Rusli Simanjuntak, setelah tujuh cek senilai Rp31,5 miliar itu dicairkan, langsung diserahkan ke DPR. Anggota DPR yang menerimanya adalah Hamka Yandu dan Antony Zeidra Abidin. Tapi dalam persidangan disebutkan bahwa uang yang mereka terima itu tidak mereka nikmati sendiri, tapi juga mengalir ke seluruh anggota Komisi IX DPR kala itu. Hamka Yandu menegaskan 52 orang anggota komisi yang membidangi keuangan dan perbankan itu menerima uang yang dia bagikan sendiri. (Ha…ha…gak mau dihukum sendiri akhirnya bawa teman)

Tentu saja pengakuan Hamka dan Antony membuat kalang kabut teman-teman mereka Anggota Komisi IX DPR pada masa itu. Pada menyangkal dan membela diri lah mereka semua itu. Termasuk dua mantan anggota DPR yang kini menjadi menteri Kabinet Indonesia Bersatu sebagai penerima dana, yaitu Menteri Kehutanan M.S Kaban dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Paskah Suzetta.

Dalam kasus ini Oey Hoey Tiong dan Rusli Simandjuntak Divonis 4 Tahun Penjara. Jadi kita tunggu siapa lagi yang divonis atau ikut terseret dalam kasus ini.

Begitulah pembahasan saya mengenai Kasus BLBI ini. Sungguh menarik bukan cerita politik dan hukum Indonesia untuk diikuti? Penuh intrik dan skenario.

Wokeh, mari kita liat kelanjutan dari Sinetron Hukum dan Politik Indonesia selanjutnya. Apakah semakin menarik ataukah cerita hitam ini akan tamat dan menjadi cerita yang putih. Semoga.

Dikembangkan dan Dikumpulkan dari banyak sumber, antara lain:

http://infoblbi.com/kronologis.php?IDBERITA=99

http://bcwbanten.blogspot.com/2008/02/skandal-blbi.html

http://sijorimandiri.net/jl/index.php?option=com_content&task=view&id=16335&Itemid=87

http://www.detikfinance.com/read/2008/01/31/154447/887119/5/inilah-kronologi-temuan-penyimpangan-dana-yppi#frame1

http://www.jambi-independent.co.id/home/modules.php?name=News&file=print&sid=6871

http://investigasi-korupsi.com/index.php?option=com_content&task=view&id=3101&Itemid=51

http://www.tempointeraktif.com/hg/hukum/2008/11/12/brk,20081112-145518,id.html

http://www.antara.co.id/arc/2008/8/31/serangan-balik-kasus-aliran-dana-bi/

Entry Filed under: I'm very hate my country, Politik. Tag: Aulia Pohan, BLBI, Kasus Aliran BI, Kasus BLBI, Kronologi BLBI, Kronologis BLBI, Skandal BI.

Kronologis Kasus BLBI [Bagian II]

November 17, 2008

Sambungan…

Lihat tulisan sebelumnya : Kronologis Kasus BLBI [Bagian I]

Setelah membaca kronologi nya, semakin jelaslah sebenarnya bagaimana murat maritnya sistem birokrasi negeri ini. Aku sempat berpikir heran, kenapa sih Mendiang Presiden Suharto dengan enaknya menerapkan langkah-langkah yang mencengangkan untuk mengatasi krisis moneter pada tahun 1997- Mei 1998. Diantaranya yaitu tadi, melikuidasi 16 Bank, membantu bank sehat yang mengalami kesulitan likuiditas a.ka.a BLBI, sedangkan bank yang ”sakit” akan dimerger atau dilikuidasi.

Dulu, jaman tahun 1997-1998, Pers masih belum sebebas sekarang. Jadi saya dan jutaan masyarakat Indonesia lainnya tentunya sangat awam atau tidak familiar dengan kebijakan-kebijakan ekonomi. Gak ngerti kami itu. Hanyalah Pemerintah, Anggota DPR dan Pakar-pakar ekonomi lah yang sangat mengerti masalah ekonomi. Coba liat Pers sekarang, sangat bebas dan pro rakyat. Tayangan-tayangan berita atau tulisan di surat kabar sangat membantu kita untuk mengetahui dengan jelas kondisi kenegaraan kita ini, baik itu di bidang ekonomi, hukum dan perundang-undangan dan lain sebagainya. Kadang ada juga yang meng-investigasi beritanya itu sampai ke akar-akarnya. Ya walaupun aku yakin birokrasi negeri ini tetap bobrok, tapi setidaknya Pers dan Media lainnya sudah memberitakan yang terbaik untuk perubahan negeri ini.

Kembali ke Topik, jadi BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) lahir ini untuk mengatasi masalah ini, yaitu menutupi talangan hutang luarnegeri yang dilakukan para bankir tersebut.

Bank yang banyak menjamur sebagai akibat kebijakan deregulasi perbankan dimasa orde baru akhirnya runtuh dan jatuh bangkrut, serta tetap tidak kuat menahan nilai mata uang rupiah yang anjlok, juga sektor perekonomian kita (industrialisasi yang dibantu oleh kredit bank) yang berantakan akibat kredit macet.Kredit macet itu saling berkaitan dan tali temali, antara industri terhadap bank, bank terhadap pemerintah, pemerintah terhadap bantuan asing, sehingga menambah beban hutang luarnegeri kita total menjadi 1200 trilyun (600 trilyun). Akhirnya banyak bank yang diambil alih pemerintah dan kemudian dijual kembali dibursa saham setelah sehat atau merger (digabungkan). Dan ada juga yang dinyatakan bangkrut dan hilang tak tentu rimbanya (begitupula pemiliknya).

Berikut ini adalah Daftar Hitam Kelam Kasus BLBI yang menurutku masalah sangat unik, kreatif, lucu menggelitik, penuh intrik, tertata rapi, sangat licik, dan yang pasti PENUH KONSPIRASI.

5 (lima) Bank yang melakukan penyimpangan terbesar hingga 74% dari total BLBI penyimpangan 48 bank penerima yaitu :

1.BDNI sebesar 24, 47 trilyun yaitu 28, 84% dengan pemilik Syamsul Nursalim
2.BCA sebesar 15, 82 trilyun yaitu 18,64% dengan pemilik Soedono Salim
3.Bank Danamon sebesar 13,8 trilyun yaitu 16,27% dengan pemilik Usman Admadjaya
4.Bank Umum Nasional sebesar 5,09 trilyun yaitu 6,0 % dengan pemilik Bob Hasan
5.Bank Indonesia Raya (BIRA) sebesar 3,66 trilyun yaitu 4,31 % dengan pemilik Atang Latief

Sumber : Laporan Audit BPK RI No.06/01/Auditama II /AI/ VII /2000

Tersangka kasus perbankan tersebut, yaitu (dalam miliar) ;

Sudono Salim (BCA – hutang 52,767)
The Nin King, (Danahutama – hutang 23)
Hendra Liem , (Bank Internasional-hutang 16,95)
Sudwikatmono (Bank Surya – hutang 1,887)
Ibrahim Risjad (Risyad Salim Internasional – 10,664)
Nyoo Kok Kiong (Papan Sejahtera, – hutang 108,49)
Honggo Wendratmo (Papan Sejahtera – hutang 216, 98)
Andi Hartawan (Badja Internasional-hutang 32, 66)
Soeparno Adiyanto (Bumi Raya Utama, 24, 81)
Ganda Eka Handria (Bank Sanho – hutang 4,41)
Mulianto Tanaga (Bank Indo Trade – hutang 15,31)
Phillip S Widjaya (Bank Mashill – hutang 14,90)
Hasyim Joyohadikusumo (Papan Sejahtera – hutang 216,98)
Siti Hardiyanti Rukmana,(Bank Yama-Yakin Makmur – hutang 155)
Nirwan Bakri (Nusa Nasional-hutang 3.006, 16 trilyun)
Husodo Angko Subroto (Sewu Internasional-hutang – 209,20)
Iwan Suhardiman (Tamara Bank – hutang 35,61)
The Nin Kong (Baja Internasional – hutang 45,14)
The Tje Min (Bank Hastin – hutang 139,79)
Samsul Nursalim (BDNI – hutang 28.408, 00 trilyun)
Bob Hasan (BUN – hutang 5.341,00 trilyun)
Usman Admadjaya (Bank Danamon – hutang 12.533, 00 trilyun)

Sumber : Koran Tempo, 15 April 2004 dan Kompas, 1 Mei 2004

Daftar para obligor yang belum melunasi kewajibannya
Atang Latief (Bank Indonesia Raya – hutang 325,46
James Januardy (Bank Namura Internasional–hutang123,04)
Ulung Bursa (Bank Lautan Berlian-hutang 615)
Lidia Mochtar (Bank Tamara – hutang 202,80)
Omar Putirai (Bank Tamara – hutang 190,17)
Marimutu Sinivasan (Bank Putera Multikarsa-hutang 1.130,61T)
Kaharuddin Ongko (Bank Umum Nasional – 8.348,00 Trilyun)
Samadikun (Bank Modern – hutang 2.663, 00 Trilyun)

Sumber: Koran Tempo 15 April 2004, BPPN, Kompas, 1 Mei 2004)

Daftar Banker yang dilimpahkan ke Tim Pemberantasan Korupsi
Atang Latief (Bank Indonesia Raya – hutang 325,46)
James Januardy (Bank Namura Internasional–hutang123,04)
Ulung Bursa (Bank Lautan Berlian-hutang 615)
Lidia Mochtar (Bank Tamara – hutang 202,80)
Omar Putirai (Bank Tamara – hutang 190,17)
Marimutu Sinivasan (Bank Putera Multikarsa-hutang 1.130,61T)

Daftar Banker yang diserahkan kekepolisian
Baringin Panggabean (Bank Namura Internusa-APU- 158,93 )
Santosa Sumali (B.Metropolitan – APU – 46,55)
Fadel Muhammad (Bank Intan – APU-93,28 )
Santosa Sumali (B. Bahari-APU-295,05)
Trijono Gondokusumo (Bank PSP- APU – 3.3031, 11 trilyun)
Hengky Widjaya (Bank Tata-APU-461,99 ) Taony Tanjung
I Gde Dermawan (Bank Aken-APU-680,89)
Tarunojoyo Nusa (Bank Umum Servitia-APU-3.336, 44 trilyun)David Nusa Widjaya
Kaharuddin Ongko (BUN – MRNIA-8.348.00 trilyun)
Samadikun H. (Bank Modern – MRNIA-2.663, 0 Trilyun)

Sumber : Koran Tempo tanggal 18 Oktober 2004

Hebat bukan, bahkan sungguh fantastis. Total kotornya ada dana Rp. 600 trilyun yang diberikan pada perbankan pasca krisis moneter sampai oktober 2003. Dari 600 trilyun itu BPPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) sudah mengembalikan Rp. 152, 4 trilyun. Terdiri dari setoran tunai Rp. 107,167 trilyun, obligasi Rp.14,994 trilyun, tunai non Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) Rp. 9,7 trilyun, dan obligasi daur ulang (reclyed bonds) Rp. 20, 541 trilyun.

Lalu, sisanya +/- 400 trilyun lagi kemana dong? Barangkali anak SD sekarang udah tau jawabnya.

Bersambung….

Entry Filed under: I'm very hate my country, Politik. Tag: BLBI, fakta, Kronologi, Kronologis Kasus BLBI, Politik, Skandal BLBI.

delapan (pemegang saham bank eks Badan Penyehatan Perbankan Nasional/BPPN)

16 Januari 2010 | 03.21 WIB
Empat Pemegang Saham Sulit Paksa Badan

Jakarta, Kompas - Kementerian Keuangan memastikan sulit menagih empat dari delapan pemegang saham eks Badan Penyehatan Perbankan Nasional.

Pasalnya, keempat pemegang saham itu sudah berada di luar negeri. Pemerintah hanya bisa berharap ada pengembalian dana dari aset-aset yang masih ada di dalam negeri.

”Dari delapan (pemegang saham bank eks Badan Penyehatan Perbankan Nasional/BPPN) yang menjadi tanggung jawab Kementerian Keuangan itu, ada yang sudah di luar negeri, yakni Sinivasan, Agus Anwar, Lidia Mochtar, dan Atang Latief,” kata Dirjen Kekayaan Negara Kementerian Keuangan Hadiyanto di Jakarta, Jumat (15/1).

Kedelapan pemegang saham tersebut merupakan kelompok penerima Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang disalurkan pemerintah dalam rangka menyelamatkan sistem perbankan nasional yang terkena krisis moneter tahun 1997.

Penagihan BLBI atas kedelapan orang itu ditangani langsung oleh Kementerian Keuangan. Syarat utama paksa badan adalah orang yang ditagih ada di wilayah hukum Indonesia.

”Harus diidentifikasi, apakah orangnya ada di dalam negeri atau tidak sebab beberapa obligor sudah tidak ada di Indonesia. Sulit melakukan paksa badan kalau orangnya sudah di Singapura, misalnya. Intinya, paksa badan hanya akan kami lakukan kalau berdasarkan perhitungan akan efektif dalam penagihannya,” ujar Hadiyanto.

Uang yang masuk negara

Marimutu Sinivasan adalah pemegang saham Bank Putera Multi Karsa. Adapun Lidia Mochtar adalah pemilik Bank Tamara, Atang Latief dari Bank Bira, dan Agus Anwar dari Bank Pelita Istismarat.

Empat pemegang saham lainnya adalah James Januardy dan Adisaputra Januardy dari Bank Namura Internusa, Omar Putihray dari Bank Tamara, dan Ulung Bursa dari Bank Lautan Berlian.

Utang James Januardy dan Adisaputra Januardy sudah dianggap lunas. Mereka melunasi semua utangnya plus biaya administrasi panitia

Saat itu, total uang tunai yang masuk ke kas negara baru Rp 303 juta. Ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan total utang yang sebesar Rp 2,297 triliun dari kedelapan pemegang saham itu.

Menurut Hadiyanto, paksa badan merupakan salah satu upaya pemerintah untuk membuat penagihan terhadap semua debitor berjalan efektif.

Jadi, lanjut Hadiyanto, jika penagihan dengan cara normal sudah efektif, paksa badan tidak perlu lagi dilakukan. Paksa badan hanya bisa dilakukan jika semua proses persiapannya lengkap. (OIN)

Sand in Singapore’s Gears

Sand in Singapore’s Gears Print E-mail
Tag it:
Delicious
Furl it!
Mister.Wong
NewsVine
Reddit
YahooMyWeb
Technorati
Digg
Written by Our Correspondent
Monday, 05 March 2007

Indonesia, seeking legal recourse to nab fleeing financiers, uses the world’s cheapest commodity as a weapon



It started with a barge-load of Indonesian sand, or a whole fleet of them, delayed for the last two months on their way to Singapore to be used in reclamation projects.

At first Indonesian officials insisted the sand without a country was held up for environmental reasons. Now, it appears the sand is actually political leverage in an extradition tiff with Singapore over a brace of crooked bankers hiding out in the city state.

What’s really at stake is not sand, which should be the world’s cheapest commodity, but an extradition treaty that Singapore government authorities have been refusing to sign for 34 years. Indonesia wants a bunch of elusive bankers who took part in an astounding heist of more than US$13.5 billion looted from the Indonesian central bank’s recapitalization lifeline to 48 ailing banks during the 1997-1998 Asian financial crisis.

The matter is an embarrassment to Singapore to say the least. It is safe to say that no country in Asia is more jealous of its reputation for incorruptibility, grimly built and guarded by its 83-year-old founder and “minister mentor,” Lee Kuan Yew over more than five decades.

Despite that, the city-state has always been a bolt-hole for Indonesian tycoons a step ahead of the law or sporadic ethnic violence. According to Tempo Magazine, there are some 18,000 Indonesians described as “rich” living in Singapore worth a combined total of US$87 billion – more than Indonesia’s entire annual government budget. Yunus Husein, Chairman of the Financial Transactions Report & Analysis Center in Jakarta, told Tempo that the Indonesian embassy in Singapore had confirmed that some 200 debtors who owe money to the state had been hiding there since 1998.

The Singapore embassy in Jakarta declined comment other than to tell Asia Sentinel questions over the matter had already been referred to authorities in the city state. On Feb. 19, Singapore’s Ministry of Foreign Affairs issued a statement saying that the two countries are making progress in negotiations over the treaty “in good faith on the basis of mutual benefit.” The treaty, the ministry said, is linked to negotiations over a mutual defense agreement.

“Unilaterally making sand an additional issue with the objective of delinking the defense cooperation agreement from the extradition treaty contravenes the earlier agreement by the two leaders,” the ministry statement said. “As for the linkage to border delineation, Minister for Foreign Affairs George Yeo said in Parliament recently that ‘the talks are complicated enough without this additional complication.’"

Sand – Indonesian sand – is crucial for Singapore. In 1960, the entire island state was only 581.5 square kilometers. It has since grown to some 650 sq km and expects to grow by another 100 sq km by 2030 – if it can find the firmament.

But the prevailing view in Jakarta is that Singapore isn’t going to get any more sand until officials sign the papers that would cause it to cease harboring what are alleged to be Indonesian criminals and their ill-gotten gains.

Instead of recapitalizing their banks, many bankers simply skipped and parked their funds in Singapore, which welcomed the deposits, unaware that times were about to change in Indonesia after former President Suharto was forced from office in 1998.

While the process of Indonesian democratization and fighting corruption has been slow at best, in this case a Supreme Audit Agency report commissioned by the House of Representatives, the Indonesian parliament, revealed that a massive Rp138 trillion of missing funds had been channeled by improper procedures and then misused by the recipient banks, mostly owned by Suharto’s cronies and relatives. Instead of managing the funds to guarantee depositors' savings, the errant bankers used much of the money for currency speculation, loans to affiliated business groups and repayment of subordinated loans and securities transactions.

Indonesia is a place, however, where most things can be negotiated and since the errant bankers weren’t remanded to custody, by the time the courts had handed down final verdicts, they had absconded. Another common tactic was to plead illness. Instead of insisting on speedy prosecutions, complicit Indonesian officials continued to grant court delays and issue permits for medical treatments abroad.

Prosecutors could do little, if anything, to prevent flight as only the courts have the power to order detention during the trial process.

As recently as last June, travel bans were slapped on eight former owners of banks for failing to repay the money. The eight are Marimutu Sinivasan, Ulung Bursa, Atang Latief, Lidia Muchtar, Omar Putiray, Adisaputra, James Januardi and Agus Anwar, who are estimated have a combined principal debt of Rp3.02 trillion.

Still on the lam, among many others, are: Sjamsul Nursalim, former president commissioner of Bank BDNI, who reportedly lives in Singapore. Bank BDNI was the second-largest recipient of funds after Bank Central Asia, a Rp37 trillion gift from the government.

Samadikun Hartono, former president director of the now-closed Bank Modern, was found guilty of embezzling Rp169 billion and sentenced to four years in jail; there have been no public reports of his whereabouts.

Bambang Sutrisno and Andrian Kiki Ariawan are also fugitives - they were vice president and president director, respectively, of the closed Bank Surya. Both were accused of embezzling Rp1.5 trillion and sentenced to life imprisonment. Both reportedly live in Singapore.

Sudjiono Timan, former president director of state-owned venture-capital investment company PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia, disappeared when prosecutors tried to arrest him at his home after he was sentenced to 15 years in jail. He was involved in an Rp1.1 trillion corruption case involving the channeling of state funds to Suharto's cronies. He is also thought to be in Singapore.

Set up in 1993 to facilitate national development and cooperation with foreign investors, Bahana Pembinaan Usaha Indonesia ended up with debts of almost $1 billion and was owed hundreds of millions in outstanding loans by corruption-linked tycoons.

Others include Lidia Mochtar, suspected of embezzling the equivalent of US$S20 million from Bank Tamara; Agus Anwar, a suspect over US$214 million missing from Bank Pelita; and Maria Pauline Lumowa, who headed PT Gramarindo Mega Indonesia and is suspected of masterminding the embezzlement of Rp1.7 trillion from state-owned Bank Negara Indonesia through allegedly fictitious letters of credit. She fled to Singapore before trial.

In October 2006 Tempo magazine reported that several had moved their head offices to Singapore, including Sukanto, boss of the Raja Garuda Mas Group, which had problem loans amounting to US$1.4 billion (Rp13 trillion) owed to several national private banks. Asia Pacific Resources International Holdings Ltd, one of Sukanto’s business units, controls paper and pulp businesses in China, Indonesia, Hong Kong, Brazil and Finland.

Tempo noted comments by Andy Xie, then senior economist of Morgan Stanley Asia, that “Much of the success of Singapore is due to it becoming a money laundering center for corrupt business people and officials from Singapore.” Xie was almost immediately cashiered by Morgan Stanley for this and other related comments.

Artalyta Suryani, Wanita di Belakang Sjamsul Nursalim

Selasa, 04/03/2008 03:14 WIB
Koreksi Berita
Artalyta Suryani, Wanita di Belakang Sjamsul Nursalim
Ramdhan Muhaimin - detikNews
Jakarta - Teka-teki siapa Artalyta Suryani yang menjadi tersangka penyuapan Jaksa Urip Tri Gunawan masih menjadi misteri. KPK yang melakukan penyidikan hingga kini masih belum membuka mulut mengenai siapa sebenarnya wanita yang disebut-sebut menjadi penghubung antara Jaksa Urip dengan pengusaha Sjamsul Nursalim.

Apakah betul Artalyta merupakan orang yang dekat dengan lingkungan bisnis Sjamsul Nursalim?

Penelusuran yang dilakukan detikcom, Senin (3/3/2008), menemukan Artalyta merupakan salah seorang pengusaha kelas kakap.

Dalam situs Bursa Efek Jakarta per 3 Maret 2008, nama Artalyta Suryani tercatat sebagai orang kedua di Indonesia Prima Properti Tbk. Artalyta menjabat Wakil Komisaris Utama perusahaan tersebut. Sedangkan Komisaris Utama dipegang Dibyo Widodo.

Perusahaan raksasa yang bergerak dibidang properti dan real estate ini beralamat lengkap di Wisma Sudirman Lantai II Jalan Jend Sudirman Kav 34, Jakarta Pusat.

Tidak hanya itu, dalam profil perusahaan yang berdiri sejak 23 April 1983 itu, juga terungkap jika 90,09 persen saham perusahaan diambil alih oleh First Pacific Capital Group Limited per 31 Januari 2008. Sedangkan PT Gajah Tunggal Mulia per 30 September 2007 hanya tercatat memiliki saham sebesar 18,46 persen.

Gajah Tunggal Mulia merupakan anak perusahaan Gajah Tunggal Tbk yang dimiliki Sjamsul Nursalim. Suami Artalyta sendiri, yaitu Surya Dharma (alm) merupakan mantan bos PT Gajah Tunggal.

Dari sedikit catatan di atas, mungkinkah semakin memperkuat dugaan jika transaksi suap yang dilakukan Artalyta terhadap Jaksa Urip pada Minggu 2 Maret 2008, sangat terkait dengan kasus BLBI yang penyidikannya dihentikan oleh Kejagung? Mari kita tunggu penjelasan KPK!
(rmd/anw)

SJAMSUL NURSALIM

Nama :
SJAMSUL NURSALIM

Lahir :
1942

Pendidikan :
Pernah belajar di Inggris


Karir :
- Dirut PT Gajah Tunggal
- Direksi Perusahaan cat Kansai
- Komisaris Utama PT Daya Indonesia
- Pemilik perkantoran Tuan Sing Tower, Robinson Road
- Dirut Bank Dagang Nasional Indonesia (sejak 1980)


Alamat Kantor :
PT Bank Dagang Nasional Indonesia Jalan Kalibesar Timur 27, Jakarta Barat Telp: 677322
Tadinya, di kalangan bankir di Jakarta, Sjamsul Nursalim alias Liem Tjoen Ho lebih dikenal sebagai industriwan. Tetapi, 1980, ia ''menyelamatkan'' Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), mengambil alih kepemimpinan Direktur Utama Paulus Wibowo -- yang menumpuk utang sekitar US$ 30 juta, sehingga banyak nasabah menarik diri.

Ada yang menduga, untuk ''penyelamatan'' BDNI itu ia mendapat dukungan sebuah bank Prancis, Societe Generale cabang Singapura. Rupanya, sudah terjalin hubungan timbal-balik yang saling menguntungkan antara bank tersebut dan Sjamsul, yang menjadi nasabah Societe Generale. Dari bank ini, konon, Sjamsul berhasil menarik pinjaman US$ 15 juta, yang diperkirakan digunakan untuk menutup sebagian utang BDNI kepada bank-bank luar negeri. ''Ini tidak betul,'' kata Sjamsul Nursalim, menanggapi dugaan-dugaan tadi.

Tetapi dari mana pun pinjaman itu berasal, saat ia duduk sebagai Direktur Utama BDNI, ia menyetor 50% (Rp 1,5 milyar) -- separuh dari modal BDNI setelah ditingkatkan. Sisanya yang 50% masih dimiliki PT Nusantour Duta Development Corporation dan Djaya Development Corporation, keduanya milik Sri Sultan Hamengkubuwono IX.

Sebagai industriwan, Sjamsul menjadi Direktur Utama PT Gajah Tunggal, pabrik ban merk Gajah dan Inoue. Pada 1984, ia sedang merintis usaha patungan untuk menghasilkan ban merk Yokohama. Ia juga duduk sebagai anggota direksi perusahaan cat Kansai, yang bekerja sama dengan Jepang, sambil mengusahakan pabrik tapioka di Lampung.

Bagi Sjamsul sendiri, walaupun pernah belajar di Inggris, memimpin bank devisa seperti BDNI suatu prestasi tersendiri. Bank ini dijuluki ''bank republikein'', karena didirikan oleh para pengusaha pejuang di Medan pada 1945 -- yang kemudian lekat pula dengan nama Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Sultan, jauh sebelum menjadi Wakil Presiden RI, membeli sebagian besar dari 2.000 sahamnya. Di BDNI, Sri Sultan masih dianggap sebagai 'pahlawan' dalam sejarah berdirinya BDNI, dan tetap duduk sebagai komisaris utama kehormatan.

Thursday, April 1, 2010

Aset Eddy Tanzil Terjual Rp 1,4 Triliun?

ilustrasi
Korupsi
Kamis, 26 November 2009 | 09:07 WIB

”Saya membantah pengembalian uang negara dari aset eks Golden Key baru 10 persen (setara harga limit dalam lelang yang akan dilakukan Departemen Keuangan 2 Desember 2009) karena aset yang terjual sudah sekitar Rp 1,4 triliun. Itu sekitar 300 persen dari hukuman pidana tambahan yang ditetapkan Mahkamah Agung (pada 29 September 1995),” kata Tri Adhyaksa, pengacara yang mewakili Rachmat Wangsa Senjaya, mantan Wakil Ketua Tim Penilai atau Penaksir Aset Golden Key Group atau Tan Eddy Tansil, Kejaksaan Agung RI.

Menurut Try, pascaburonnya Eddy Tansil dari Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, 4 Mei 1996, Rachmat mulai mengejar aset-aset yang bisa disita. Pada periode 8 Mei 1996 hingga 3 November 1999, Kejaksaan Agung menyita dan mengeksekusi 18 aset, antara lain uang tunai Rp 2,544 miliar (sisa dana di rekening Eddy Tansil di Bank Danamon); Rp 4,173 miliar (kelebihan bunga deposito PT Dinamika Erajaya), dan Rp 101.520.000 (hasil lelang perabot rumah tangga di Kompleks Pondok Cilegon Indah, Serang).

Idealnya, kejaksaan menyerahkan hasil sita itu ke kas negara untuk pengembalian hukuman denda pidana Rp 500 miliar. ”Namun kejaksaan, waktu itu Jampidsus-nya, malah menyerahkan aset-aset itu langsung ke bank yang merugi,” ujar Try.

Belakangan, ungkap Try, diketahui aset-aset itu diserahkan kepada bank sindikasi pemerintah, yakni Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo), Bank Dagang Negara (BDN), Bank Bumi Daya (BBD), dan Bank Negara Indonesia (BNI). BBD, BDN, dan Bapindo, pada Juni 1999 bergabung menjadi Bank Mandiri. ”Kemudian, bank sindikasi itu menjual aset-aset itu pada PT Banten Java Persada dengan nilai Rp 1,3 triliun,” kata Try.

Belum menjual

Namun, menurut Wakil Presiden Senior Manajemen Aset Bank Mandiri Agus Sudiarto, mengatakan, pelelangan aset Golden Key belum pernah dilakukan Bank Mandiri sejak bank ini berdiri.

”Meskipun demikian, aset Golden Key terjaga dengan baik. Penjualan aset Golden Key pernah dilakukan oleh legacy Bapindo sebelum merger sekitar tahun 1996,” ujarnya. (kompas.com)

Tentang Eddy Tanzil

Tim Pemburu Koruptor Sita Tanah Edy Tanzil

Kamis, 28 Juli 2005 | 18:59 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta: Ketua tim pemburu koruptor, Basrief Arief, mengatakan, timnya menyita 3 hektare tanah milik Edy Tanzil, buron pembobol Rp 1,3 triliun di Bapindo. Hingga kini, total aset tanah Edy yang telah disita 8 hektare.

"Lokasi tanah tiga hektare tersebut masih di wilayah Jakarta," ujar Basrief di Kejaksaan Agung, Kamis (28/7). Namun, ia menolak mengungkapkan lokasi tanah tersebut secara pasti.

Basrief mengatakan, tim saat ini tinggal mengukur dan melelang tanah yang telah disita. "Pengukuran dilakukan dengan bantuan dari Badan Pertanahan Nasional (BPN), karena perhitungan antara dokumen dan fisik harus sesuai," tuturnya.

Edy Tanzil kabur dari penjara Cipinang pada 1995. Ia dihukum 20 tahun penjara, karena menggunakan surat utang palsu Golden Key guna membobol Bapindo. Astri Wahyuni

RI Minta Australia Ekstradisi 5 Buronan

Kamis, 11 Maret 2010 - 09:33 wib
text TEXT SIZE :
Share
Presiden SBY dan PM Kevin Rudd (Foto: abc.net)

CANBERRA - Pemerintah Indonesia meminta Australia untuk mengekstradisi lima pelaku kejahatan di Indonesia yang melarikan diri ke Australia. Satu di antaranya adalah buron terpidana korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Adrian Kiki Ariawan.

"Soal ekstradisi, pemerintah sudah minta lima orang kita diekstradisi ke Indonesia, dan hal ini sudah aktif dibicarakan," kata Juru Bicara Presiden Dino Patti Djalal di sela-sela kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Canberra.

Selain pemulangan Adrian Kiki, kata Dino Pemerintah Indonesia juga meminta dua buron pelaku pencucian uang lainnya untuk diekstradisi. Siapa mereka, Dino enggan menyebutkan nama. Adrian Kiki divonis penjara seumur hidup oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 2002 dalam sidang in absentia.

Adrian dinyatakan bersalah menggelapkan uang BLBI senilai Rp1,9 triliun. Kementerian Hukum dan HAM memasukkan Adrian dalam daftar 12 buronan BLBI yang kabur ke luar negeri. Pada 28 November 2008 pemerintah Australia menangkap Adrian di Perth.

Pengadilan Australia menyetujui ekstradisi, namun Adrian mengajukan banding ke Mendagri Australia.

Mengenai agenda pertemuan Presiden SBY dengan Perdana Menteri Australia Kevin Rudd besok, Dino menegaskan kedua pemimpin akan membahas kesepakatan mengenai penyelundupan manusia, terutama masuknya warga-warga asing secara ilegal ke Australia melalui Indonesia dan difasilitasi oleh orang-orang Indonesia.

"Besok dalam joint statement juga akan diumumkan mengenai people smuggling, yang selama ini belum memiliki kerangka hukum yang jelas," kata Dino.

Dalam pernyataan bersama esok hari akan disinggung soal kesepakatan consular notification atau pemberitahuan konsuler dalam penanganan warga negara Indonesia yang tertangkap di wilayah Australia. Terutama mengenai para nelayan yang ditangkap karena memasuki wilayah perairan Australia.

"Selama ini jika ada WNI yang tertangkap di Australia, sulit bagi pemerintah Indonesia memberikan bantuan hukum karena adanya peraturan 'privacy act' yang membatasi akses pemerintah kepada mereka. Ini sudah lama menjadi complain kita," katanya.

Dino juga menjelaskan, berbagai bidang kerja sama yang lain juga akan terus ditingkatkan seperti perdagangan, pariwisata, kehutanan dan pendidikan yang sudah berkembang baik juga terus ditingkatkan.

Pada bagian lain, Presiden SBY tadi malam melakukan pertemuan pribadi dengan PM Rudd di kediaman PM dan hanya didampingi Ibu Ani Yudhoyono dan Menlu Marty Natalegawa.

Rabu Presiden juga melakukan acara yang bersejarah yaitu dengan berpidato di depan anggota parlemen Australia, hal ini merupakan kehormatan bagi Indonesia karena kesempatan ini jarang diberikan kepada kepala negara lain.

"Sepanjang 109 tahun parlemen Australia baru lima Kepala Negara atau pemerintahan yang mendapat kesempatan ini. Ini bukti besarnya perhatian masyarakat Australia kepada Indonesia," katanya.

Kemarin, Presiden SBY menerima penganugerahan tanda kehormatan Honorary Companion of the Order of Australia yang diberikan Gubernur Jenderal Persemakmuran Australia Quentin Bryce AC.

Pemberian penghargaan itu dilakukan di kediaman resmi Gubernur Jenderal di "Goverment House" Canberra, dalam rangkaian kunjungan kehormatan kenegaraan Presiden Yudhoyono di Australia selama tiga hari.

Penghargaan terhadap Presiden Yudhoyono diberikan atas jasanya memperkuat hubungan Australia-Indonesia dan meningkatkan demokrasi dan pembangunan di Indonesia.

Dalam kunjungan kenegaraan ini, Presiden didampingi Ibu Ani Yudhoyono, Menko Perekonomian Hatta Rajasa, Menko Polhukam Djoko Suyanto, Menhan Purnomo Yusgiantoro, Mendag Mari Pangestu, Meneg LH Gusti Muhammad Hatta, Menkum HAM Patrialis Akbar, Menhut Zulkifli Hassan, Mentan Suswono dan Meneg Pora Andi Malarangeng.

Turut hadir Kepala BKPM Gita Wirjawan, Dirut Bank Mandiri Agus Martowardojo, Ketua Hipmi Erwin Aksa, Gubernur Papua Barnabas Suebu, Gubernur Bali I Made Mangku Pastika dan sejumlah gubernur Kawasan Timur Indonesia lainnya. (Koran SI)(//rhs)
Sent from Indosat BlackBerry powered by
Bagi Anda pengguna ponsel, nikmati berita terikini lewat http://m.okezone.com Dapatkan okezone launcher untuk BlackBerry http://bb.okezone.com/okezone.jad

Daftar Buron --berita dari Viva News.com

Daftar Buron yang Menikmati 'Surga' Singapura
Kalau hanya perlu dua jam meyakinkan Gayus untuk pulang, kenapa tidak ke buron lainnya?
Rabu, 31 Maret 2010, 10:27 WIB
Elin Yunita Kristanti
Daftar Buronan Koruptor Kejaksaan (kejaksaan.go.id)




VIVAnews - Gayus Tambunan akhirnya bisa dijemput dari Singapura. Menurut Polisi, Gayus tidak ditangkap dan tidak menyerahkan diri.

Kata Kepala Divisi Humas Polri, Inspektur Jenderal Edward Aritonang, Gayus bertemu dengan penyidik Polri lalu diimbau pulang ke Indonesia. "Yang bersangkutan bersedia," kata Edward

Tim penjemputan Gayus dipimpin oleh Kepala Badan Reserse dan Kriminal Polri, Komisaris Jenderal Ito Sumardi dan Tim Satgas Pemberantasan Mafia Hukum. Satgas hanya perlu waktu dua jam untuk meyakinkan Gayus untuk pulang ke Indonesia.

Yang kini jadi pertanyaan, jika penjemputan Gayus bisa dilakukan dalam waktu singkat, mengapa tidak dilakukan kepada para buron lainnya yang lari ke Singapura.

Singapura memang dikenal sebagai surganya para buron. Banyak buronan Indonesia yang menetap atau sekadar mampir di negeri 'Singa Merlion Ini' selepas kabur dari Indonesia.

Nama-nama buron kakap ada dalam daftar, sebut saja Djoko Tjandra buron sebelum divonis dua tahun penjara oleh MA terkait kasus pencairan klaim Bank Bali. Dia diketahui menetap di Singapura.

Ada lagi, Anggoro Widjojo, buronan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus dugaan korupsi pengadaan Sistem Komunikasi Radio Terpadu di Departemen Kehutanan.

Dua buron kasus Century, afat Ali Rizvi dan Hesham Al Warraq juga diketahui berada di Singapura.

Sejumlah nama lama buron Indonesia juga pernah memanfaatkan mudahnya tinggal di Singapura. Edi Tansil, terpidana kasus ekspor fiktif atau 'ekspor angin. Dia sempat singgah di Singapura sebelum diketahui menetap di China.

Kemudian, Bambang Soetrisno, Adrian Kiki Ariawan, terpidana seumur hidup kasus BLBI Rp 1,5 triliun. Keduanya diketahui singgah di Singapura sebelum Bambang terbang ke Hongkong dan Adrian ke Australia.

Sudjiono Timan, terpidana 15 tahun korupsi BPUI, Eko Edi Putranto, dan Sherny Kojongian -- keduanya terpidana 20 tahun kasus BLBI Bank Harapan Sentosa, diduga bersembunyi di Singapura dan Australia.

Bahkan, Maria Pauline Lumowa, tersangka pembobolan Bank BNI Rp 1,7 triliun yang kabur ke Belanda, memanfaatkan Singapura sebagai tempat transit.

Ada juga nama-nama tersangka kasus Bank Global, Rico Hendrawan, Irawan Salim, Lisa Evijanti Santoso, Amri Irawan, Budianto, Hendra alias Hendra Lee, Chaerudin, dan Hendra Liem alias Hendra Lim yang bersembunyi di Singapura.

Sementara, Robert Dale Kutchen -- tersangka korupsi Karaha Bodas Company/KBC, kabur ke AS setelah transit di Singapura.

Buron korupsi lain yang bersembunyi di Singapura adalah Nader Taher --buron kasus kredit macet Bank Mandiri, Agus Anwar, tersangka BLBI Bank Pelita. Sedangkan Marimutu Sinivasan, tersangka kasus Bank Mualamat, kabur ke India melalui Singapura.

Ada juga yang terseret kasus korupsi tetapi belum ditetapkan tersangka. Mereka kini bersembunyi di Singapura, di antaranya, Atang Latief kasus BLBI Bank Bira, Lydia Mochtar -- tersangka kasus penipuan di Mabes Polri dan terlibat kasus BLBI Bank Tamara, dan Sjamsul Nursalim yang perkaranya telah di-SP3 Kejagung atas korupsi BLBI Bank Dagang Negara.
• VIVAnews